*)Oleh: Sigit Subiantoro
Anggota Majelis Tabligh PDM Kabupaten Kediri
Ada asumsi bahwa puasa Asyura diadaptasi dari praktik Yahudi, karena kaum Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura. Asumsi itu wajar merujuk pada hadis berikut,
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah, beliau mendapatkan mereka (Yahudi) melakukan puasa hari Asyura (10 Muharram) dan mereka berkata:” Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu nabi Musa mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka.” Maka beliau pada hari itu dan memerintahkan umat IsIam untuk mempuasainya. (HR Bukhari)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura tentu dengan izin Allah, bukan “ikut-ikutan” agama lain. Kemudian ketika Nabi hijrah ke Madinah, beliau mendapati orang Yahudi Madinah juga melakukan puasa pada hari Asyura.
Puasa Asyura bukan tradisi Yahudi, karena Rasulullah sama sekali tidak mengikuti tradisi Yahudi, sebab sebelum bertemu dengan orang Yahudi Madinah pun beliau telah puasa Asyura.
Selanjutnya Rasulullah memberikan pembedaan dengan menganjurkan puasa tasu’a (9 Muharram).
Dari Abdullah bin Abbas, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari Asyura yang diagungkan kaum Yahudi dan Nasrani”, maka Rasulullah bersabda:” Pada tahun depan in syaa Allah kita akan berpuasa hari kesembilan (Muharram), hingga Rasulullah wafat. (HR Muslim)
Barakallahu fiikum. (*)
