KH Tafsir membuka ceramahnya dengan pandangan reflektif bahwa Muhammadiyah sudah menjadi rumah besar yang banyak berkontribusi bagi bangsa. Namun, menurutnya, perjuangan belum selesai. Hal ini disampaikan oleh Dr. KH. Tafsir, M.Ag. di hadapan peserta Rakernas II Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Sabtu (25/10/2025), di Kota Batu, Jawa Timur.
“Kita sudah banyak mendirikan sekolah dan universitas, tapi tidak cukup hanya mendirikan. Kualitas dan manfaat nyata bagi masyarakat harus terus ditingkatkan,” tegasnya.
KH Tafsir menilai, pendirian lembaga pendidikan tanpa peningkatan mutu hanyalah bentuk tanpa substansi. Ia mengingatkan agar Muhammadiyah tidak terjebak pada angka dan jumlah, tapi lebih pada dampak nyata.
“Sudah ada 1.658 sekolah di bawah Muhammadiyah. Sekarang bukan waktunya menambah jumlah, tapi memperkuat kualitas,” ujarnya.
Ia juga menyinggung soal perdebatan di internal Muhammadiyah dalam proses pendirian lembaga baru. Bagi KH Tafsir, perbedaan pendapat itu wajar, tetapi, inisiatif baik dari bawah tidak boleh dimatikan karena prosedur.
“Kalau ada ide baik untuk kemaslahatan, biarkan berjalan. Apakah berhasil atau tidak, itu bagian dari proses pembelajaran,” katanya.
Umat Butuh Pekerjaan, Bukan Sekadar Bantuan
Berbeda dengan masa lalu, KH Tafsir melihat tantangan dakwah hari ini bukan lagi soal kelaparan atau penyakit, tetapi pengangguran dan kehilangan penghasilan.
“Banyak orang kesulitan karena tidak punya pekerjaan. Maka dakwah kita harus menjawab tantangan ekonomi,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, perputaran uang di lingkungan Muhammadiyah mencapai Rp. 5 triliun per tahun, namun banyak manfaat ekonominya justru dinikmati pihak luar.
“Kita beli alat kesehatan dan obat-obatan dari luar, padahal bisa diproduksi sendiri. Muhammadiyah jangan hanya jadi konsumen besar, tapi harus jadi produsen dan pengelola pasar,” tegasnya.
KH Tafsir menyoroti minimnya orientasi produksi di lingkungan akademik Muhammadiyah. Menurutnya, banyak profesor dan ahli yang cerdas tetapi belum berorientasi pada inovasi dan produksi nyata.
“Mengapa kita hanya fokus pada skor akademik, bukan produksi dan inovasi? Padahal ilmu harus melahirkan karya dan kemandirian,” ujarnya.
Ia juga menyinggung gap antara profesional dan pengelola lembaga. Banyak dokter ahli, katanya, yang tidak terlibat dalam manajemen rumah sakit Muhammadiyah, sementara justru ustaz yang ikut mengelola tanpa latar belakang medis.
Masjid Sebagai Pusat Sosial dan Ekonomi
KH Tafsir mengingatkan bahwa sejak dulu, masjid bukan hanya tempat salat, tetapi juga pusat ekonomi dan kebudayaan. Ia mencontohkan tata kota tradisional Jawa yang menempatkan “masjid sebagai pusat kehidupan, berdampingan dengan pasar dan kantor pemerintahan.
“Itu menunjukkan keseimbangan hidup: tempat ibadah, tempat bekerja, tempat berpikir, dan tempat bersosialisasi,” jelasnya.
Namun, ia menyesalkan pengelolaan keuangan masjid saat ini masih sempit dan tidak profesional.
“Dana masjid sering tidak digunakan untuk beasiswa atau kegiatan sosial karena dianggap di luar fungsi ibadah. Padahal, harus ada sistem pembagian dana yang jelas dan transparan,” ujarnya.
Industrialisasi dan Kaderisasi Jadi Kunci
KH Tafsir mendorong Muhammadiyah untuk masuk ke era industrialisasi kelembagaan. Kampus-kampus dan amal usaha harus berani mendirikan unit produksi, pabrik, dan bisnis mandiri untuk menyerap tenaga kerja.
“Bedanya antara kelompok yang maju dan tidak adalah keberanian mengambil risiko. Modal kita ada, tapi mentalnya belum siap,” katanya.
Ia menggarisbawahi tiga fokus strategis dakwah Muhammadiyah masa kini:
1. Kaderisasi dan ideologisasi, yaitu menjaga nilai dan visi dakwah di semua jenjang.
2. Industrialisasi ekonomi dengan membangun basis produksi mandiri.
3. Asistensi sosial dengan memperkuat solidaritas dan perlindungan bagi masyarakat lemah.
Sinergi Organisasi dan Keuangan Harus Transparan
KH Tafsir juga menyoroti struktur keuangan Muhammadiyah. Ia menyebut ada tiga aktor penting dalam pengelolaan dana Muhammadiyah: rektor, bendahara, dan manajer Lazismu. Ketiganya, menurutnya, harus berjalan selaras dengan pimpinan struktural agar tidak terjadi tumpang tindih wewenang.
“Ketua PWM tidak perlu mengurusi hal teknis. Tapi semua pihak harus terbuka dan transparan, supaya tidak ada yang merasa dikucilkan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya pendamping yang berjiwa Islam bagi para pemimpin, karena arah kebijakan sering ditentukan oleh siapa yang menjadi penasehat atau pendampingnya.
Menutup ceramah, KH Tafsir menyerukan agar Muhammadiyah tidak hanya kuat secara amal sosial dan pendidikan, tetapi juga kuat secara ekonomi dan budaya.
“Kita punya rumah sakit dan kampus besar, tapi manfaat ekonominya jangan sampai keluar dari lingkungan kita sendiri,” tegasnya.
Menurutnya, Muhammadiyah abad ini harus menjadi penolong umat yang kontekstual, menjawab persoalan lapangan kerja, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat.
“Muhammadiyah harus menjadi pusat kesejahteraan umat, bukan sekadar penyalur bantuan. Kita harus berani menjadi pelaku ekonomi yang berkeadilan,” pungkas KH Tafsir. (Afifun Nidlom)
