Bulan Muharram bukan sekadar penanda pergantian tahun dalam kalender Islam, tetapi juga momentum penting untuk melakukan refleksi diri dan berhijrah ke arah yang lebih baik.
Hal itu disampaikan oleh Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Talqis Nurdianto dalam ceramahnya di Masjid KH Sudja, Yogyakarta, pada Kamis (3/7/2025).
Dia mengajak umat Islam menjadikan 1 Muharram sebagai titik tolak hijrah spiritual dan moral, sekaligus memperbaiki akhlak, memperkuat akidah, dan menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama.
Talqis memulai ceramahnya dengan mengingatkan jemaah tentang pentingnya menjaga akidah di bulan Muharram, bulan yang menandai peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah.
Dia menekankan bahwa hijrah bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga transformasi spiritual dan moral.
“Hijrah adalah keluar dari daerah kekufuran menuju daerah iman, dari tempat yang tidak memungkinkan menjalankan ibadah sebagai muslim menuju tempat yang memberikan kesempatan untuk itu,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar umat Islam tidak mengotori akidah dengan praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti ritual-ritual mistis.
Sebagai contoh, ia menyebut tradisi di Kudus yang melibatkan pembagian nasi kerbau dan berebut kain putih di makam Sunan Kudus pada 10 Muharram.
“Jangan mengaitkan fenomena alam seperti hujan lebat dengan hal-hal mistis. BMKG sudah menjelaskan itu cuaca, bukan karena tidak ada ritual,” tegasnya.
Talqis menjelaskan bahwa hijrah memiliki tiga dimensi utama: hijrah makani (perpindahan tempat), hijrah amali (perpindahan perbuatan), dan hijrah niat (perpindahan niat).
Hijrah makani adalah berpindah dari tempat yang tidak mendukung ibadah ke tempat yang lebih baik, sebagaimana Nabi Muhammad saw berpindah dari Makkah ke Madinah.
Hijrah amali berarti meninggalkan perbuatan dosa dan menggantinya dengan amal baik, misalnya tidak mengata-ngatai orang lain meski tidak mampu memberi bantuan.
Sedangkan hijrah niat adalah mengubah niat buruk menjadi niat baik, meskipun niat tersebut tidak selalu terwujud karena ada halangan.
Dia mengilustrasikan hijrah niat dengan cerita seseorang yang berniat memberi makanan kepada pengemis namun tidak menemukan penerima.
“Meski niatnya tidak terwujud, Allah tetap memberikan pahala karena kejujuran niatnya,” katanya.
Mengutip perjalanan hijrah Nabi Muhammad saw, Talqis menjelaskan betapa beratnya tantangan yang dihadapi.
Nabi Muhammad saw memilih jalur yang tidak biasa menuju Madinah, menghabiskan tiga hari di Gua Tsur, dan memakan waktu 11 hari perjalanan dari Makkah hingga tiba di Yathrib (Madinah) pada 12 Rabiul Awal.
“Perjalanan ini penuh risiko, tapi Rasulullah menunjukkan kecerdasan dan kehati-hatian untuk menjaga akidah,” ujarnya. “Hijrah itu membutuhkan pengorbanan, baik harta, keluarga, maupun kenyamanan,” tambahnya.
Talqis kemudian mengajak jemaah untuk menjadikan bulan Muharram sebagai momen refleksi dan penyusunan resolusi hidup.
Dia menekankan pentingnya menjadi pribadi yang anfa’un-nas—yakni manusia paling bermanfaat bagi sesama, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw.
Talqis mengajak jemaah untuk mulai dari hal-hal sederhana. Salah satunya adalah berbagi kebaikan.
“Memberi makanan atau minuman, meskipun hanya sedikit, tetaplah bernilai,” ujarnya. Sambil tersenyum, ia menambahkan, “Jangan tunggu makanan berjamur baru dibagikan. Berikan saat masih segar.”
Dia juga menyoroti pentingnya menuntut ilmu, bukan hanya untuk menambah pengetahuan, tetapi lebih dari itu, untuk memperbaiki akhlak.
“Orang yang sering mengaji itu, biasanya sendalnya rapi,” ujarnya disambut tawa hadirin. “Perilakunya juga beda. Lebih tertata.”
Dalam kesempatan itu, Talqis mengingatkan bahwa kebaikan sejati justru dimulai dari rumah. Menjadi baik bagi keluarga, menurutnya, adalah cerminan dari akhlak mulia.
“Sering kali kita all out untuk orang lain, tapi lupa pada keluarga sendiri. Padahal, sebaik-baik manusia adalah yang paling baik kepada keluarganya,” tuturnya.
Resolusi Tahun Baru Hijriah juga bisa dimulai dari hal konkret seperti melunasi hutang. Talqis menekankan hal ini sebagai wujud tanggung jawab sosial dan spiritual.
Dia mengutip sabda Nabi Muhammad saw: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar utang.”
Talqis juga turut menekankan untuk tidak menyakiti orang lain, baik lewat tindakan maupun ucapan.
“Sebaik-baik kalian adalah yang diharapkan kebaikannya dan terjaga dari keburukannya,” katanya. (*/tim)