Research Integrity Risk Index, diperkenalkan sebagai alat empiris pertama yang di rancang untuk mengukur kerentanan institusi terhadap krisis integritas riset.
Di kembangkan oleh Profesor Lokman MEho dari American Universit of Beirut, indeks ini lahir dari keprihatinan terhadap laju publikasi berbasis kuantitas dan sitasi yang mengesampingkan kualitas, etika, dan verifikasi jurnal.
Research Integrity Risk Index mengkombinasikan dua indikator terukur R Rate (jumlah artikel yang di tarik per 1.000 publikasi) dan D Rate (persentase artikel dalam jurnal yang dihapus dari scopus atau Web of Science karena standar kualitas tidak terpenuhi) untuk menghasilkan skor komposit antara 0 sampai 1 yang kemudian mengelompokkan universitas ke dalamlima tingkat risiko.

Dalam konteks Indonesia, data terbaru menunjukkan sejumlah perguruan tinggi berada pada kategori paling rawan Bina Nusantara Univesity memimpin dengan skor 0,609 termasuk “red flag” diikuti Universitas Airlangga (0,414) dan Universitas Sumatera Utara (0,400).
Artinya proporsi artikel yang di tarik atau terbit di jurnal bermasalah di ketiga kampus ini relatif tinggi, mencerminkan tantangan mendasar dalam tata kelola publikasi dan pengawasan kualitas riset.
Tingkat risiko seperti ini bukan semata-mata soal angka di laporan tahunan, melainkan sinyal kalau insentif yang ada mungkin mendorong dosen dan peneliti mengabaikan praktik etis.
Kondisi ini dapat memunculkan efek domino: kredibilitas karya turun, reputasi institusi tergerus, dan pada akhirnya dampak negatif terhadap keprcayaan masyarakat pada hasil riset nasional.
Research Integrity Risk Index dengan ini memperlihatkan perlunya mitigasi, volume publikasi yang tinggi, justru bisa menjadi jebakan intregritas.
Zona merah pertanda, universitas sedang melihat dan memperhatikan proses yang selama ini, untuk merancang ulang kebijakan publikasi.
Perbaikan yang dilakukan dengan melihat Research Integrity Risk Index menaikan standar mutu kelulusan dengan menaikan dari Q3 ke Q1 untuk syarat ujian dan lulusan terbaik fakultas atau universitas.
Langkah lain adalah mencakup audit internal jurnal target sebelum pengajuan artikel, penyelenggaraan pelatihan etika riset secara berkala, serta memperkuat prosedur peer review yang independen.

Transparasi afiliasi penulis dan kolaborasi lintas disiplin juga harus didorong untuk menekan potensi manipulasi metrik sitasi atau afiliasi ganda.
Akhirnya, Research Integrity Risk Index bukan vonis permanen, melainkan peluang untuk refleksi dan reformasi.
Dengan memanfaatkan temuan indeks ini, perguruan tinggi Indonesia dapat memetakan kelemahan sistem, memperkuat tata kelola, dan menegakkan standar etika yang selama ini terabaikan.
Semoga Research Integrity Risk Index menjadi penghubung perubahan positif mendorong budaya riset yang lebih kredebel, bertanggung jawab dan bermartabat. (*)