Majelis Tabligh sebagai Penjaga Ruh Ideologi Muhammadiyah
Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Solo, Jawa Tengah. foto: fajar sodiq/viva.co

Beberapa waktu lalu, saya mengisi acara diskusi dalam rangka kegiatan Darul Arqam Madya (DAM) Ikatan Mahassiwa Muhammadiyah (IMM). Penyelenggaranya, Pimpinan Cabang IMM Kota Surabaya.

Temanya menarik. Terkait perjumpaan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi lain. Terutama ideologi HTI, FPI, dan Salafi. Fenomena tersebut dianggap penting terlebih menjadi perdebatan panas di media sosial (medsos).

Bagi sebagai pemikir Muhammadiyah, perjumpaan ideologi dianggap berdampak pada pergeseran pola baru dalam tradisi sosial-keagamaan Muhammadiyah. Kemudian mencul istilah MuHTI (Muhammadiyah rasa HTI), MuFPI (Muhammadiyah rasa FPI), dan MurSal (Muhammadiyah rasa Salafi) dan sebagainya.

Pola-pola baru tersebut sedikit banyak mempengaruhi perubahan pola kesadaran ideologi dan kesolidan organisasi di kalangan warga Muhammadiyah.

Baca juga: Kisah Rukanah Bergulat dengan Nabi Muhammad

Pengamatan saya di jejaring medsos (grup WA, Facebook, Twitter, Instagram) yang berisi atau beranggotakan warga atau simpatisan Muhammadiyah, terlihat jelas pro-kontra menyikapi fenomena perjumpaan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi lain. Mulai dari perdebatan bernada ilmiah-intelektual, hingga saling caci maki secara vulgar.

Setidaknya, ada dua hal yang dapat dipetakan dari sikap dan pandangan warga Muhammadiyah yang tampak di medsos. Pertama, sikap khawatir atau gelisah. Mereka yang mengalami secara riil di lapangan terhadap dampak yang ditimbulkan dari perjumpaan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi lain. Yang madaratnya dianggap lebih banyak daripada manfaatnya.

Kemudaratan itu di antaranya adalah munculnya sikap membanding-bandingkan, bahkan ada kecenderungan menyalahkan pola dakwah Muhammadiyah dengan pola dakwah yang lain. Terutama dengan pola dakwah HTI-FPI dan Salafi.

Kondisi ini terkadang menyulut ketegangan antarsesama jamaah Muhammadiyah di lapangan. Padahal sebelumnya mereka sangat solid secara ideologis, pola dakwah, dan berorganisasi.

Kedua, sikap tidak mempermasalahkan alias tidak khawatir. Sikap tersebut tampak dari beberapa komentar di medsos. Di mana persepsi yang sering bermunculan kalau Muhammadiyah, HTI, Salafi adalah sama: berdakwah untuk Islam.

Baca juga: Kecintaan Allah dan Turunnya Rasul

Semuanya adalah organisasi Islam yang dapat saling mengisi. Idiomnya, dakwah Muhammadiyah fokus di sosial pendidikan, HTI di dunia politik, FPI di dunia pemberantasan kemaksiatan (nahi mungkar), dan Salafi pada penguatan ibadah dan akhlak.

Mereka yang mendukung pemahaman ini cenderung ikut mendukung terhadap gerakan perjumpaan ideologi tersebut. Karena menganggap bagian dari dakwah Islam.

Di lapangan, banyak ditemukan warga Muhammadiyah lebih bangga dengan pola dakwah dan ulama kelompok ideologi lain, daripada pola dakwah dan ulama Muhammadiyah.

Kondisi ini perlu mendapat perhatian serius. Sebab tak menutup kemungkinan dapat menggerus ideologi dan pola dakwah Muhammadiyah. Yang pada gilirannya dapat mengganggu “shaf ideologi” dan organisasi persyarikatan Muhammadiyah ke depan.

Yang menjadi kegelisahan dan pertanyaan, siapa yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga ruh ideologi Muhammadiyah ketika terjadi perjumpaan dengan ideologi lain?

Saya tegas menyebut Majelis Tabligh. Mengapa?

Pertama, Majelis Tabligh berisi orang-orang yang sangat memahami karakter ideologi Muhammadiyah. Pengurus Majelis Tabligh biasanya orang-orang yang sudah lama aktif di Muhammadiyah. Kapasitas dan kualitas pemahaman dan penguasaan ideologi Muhammadiyah yang sangat kuat dan komperhensif.

Baca juga: Keutamaan Salat Di Masjid Bagi Perempuan, Berikut Penjelasan dan Dalilnya

Kedua, Majelis Tabligh berisi orang-orang yang mumpuni dalam penguasaan keilmuan Islam. Mereka sebagian besar berlatar pendidikan pesantren dan perguruan tinggi berbasis Islam. Mulai UIN/IAIN, Perguruan Tinggi Timur Tengah (Al Azhar University, ‘Ummul Qura’), FAI PTM dan sebagainya.

Dengan background tersebut menjadikan pengurus Majelis Tabligh memiliki wawasan perkembangan pemikiran dan pergerakan dunia Islam. Termasuk penguasaan isu-isu gerakan ideologi keagamaan kontemporer. Mulai ideologi gerakan keagamaan liberal, radikal, fundamental, konservatif, moderat, tradisional dan sebagainya.

Baca juga: Literasi Digital dan Peran Tokoh Agama

Harapannya, pengurus Majelis Tabligh dapat menjelaskan dan memahamkan secara tepat situasi dan posisi ideologi gerakan Muhammadiyah dengan gerakan ideologi lain. Terlebih di tengah perjumpaan ideologi keagamaan kontemporer kepada jamaah Muhammadiyah. Sehingga, mereka dapat memahami secara utuh ideologi Muhammadiyah.

Ketiga, pengurus Majelis Tabligh sebagian besar penceramah (mubaligh) Muhammadiyah. Posisi mereka sangat strategis karena sering berjumpa menjadi narasumber. Bahkan menjadi pengasuh jamaah Muhammadiyah dalam forum ngaji atau kajian.

Saya bisa menyebut ada Ngaji Kitab, Ngaji Ahad Pagi, Khutbah Jumat dan sebagainya. Dapat diistilahkan kalau Majelis Tabligh itu adalah “corong” atau “marketing” Muhammadiyah. Artinya, “Abang ijone Muhammadiyah” sangat terwarnai dari profil para mubaligh Muhammadiyah yang berada dalam naungan Majelis Tabligh.

Keempat, jaringan mubaligh yang dimiliki Majelis Tabligh sangat luas, menyebar hingga sampai basis rating Muhammadiyah. Jaringan itu terbentuk dalam wadah Korps Mubaligh Muhammadiyah (KMM) yang ada di pusat sampai ranting.

Pastinya, wadah Korps Mubaligh Muhammadiyah ini sangat strategis untuk dijadikan media pengkajian dan penguatan ideologi Muhammadiyah. (*)

Penulis : Dr. SHOLIHUL HUDA, M.Fil.I, sekretaris Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya