Aisyiyah dan Ekologi Keadaban: Perempuan Berdaya, Bumi Terjaga

Aisyiyah dan Ekologi Keadaban: Perempuan Berdaya, Bumi Terjaga
www.majelistabligh.id -

*)Oleh: Nashrul Mu’minin
Content Writer, Yogyakarta

Dalam dunia yang semakin diwarnai krisis ekologis, pemanasan global, dan degradasi lingkungan hidup, suara perempuan menjadi semakin penting. Bukan semata karena mereka menjadi korban pertama dari bencana ekologi, tetapi juga karena mereka memiliki posisi strategis dalam menciptakan peradaban baru yang berkeadaban dan ramah lingkungan.

Di sinilah ‘Aisyiyah, organisasi otonom perempuan Muhammadiyah, menunjukkan peran krusialnya. Dengan semangat tajdid dan nilai-nilai Islam yang berkemajuan, ‘Aisyiyah bergerak tidak hanya di ranah pendidikan, kesehatan, dan sosial, tetapi juga aktif dalam advokasi ekologi melalui perspektif ekofeminisme Islam.

Gerakan ‘Aisyiyah tidak berdiri di ruang hampa. Sejak awal abad ke-20, organisasi ini telah menjadi pionir dalam memberdayakan perempuan Muslim Indonesia. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, orientasi gerakan ini semakin luas dan visioner, menyentuh isu-isu keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bagian integral dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Dalam konteks ini, ‘Aisyiyah bukan hanya memosisikan perempuan sebagai subjek perubahan, tetapi juga sebagai penjaga bumi dan agen pelestarian alam yang terinspirasi oleh ajaran Islam.

Ekofeminisme Islam, sebagai paradigma yang menggabungkan kesadaran gender dan kesalehan ekologis, menjadi dasar pijakan penting dalam memahami gerakan lingkungan ‘Aisyiyah. Berbeda dari ekofeminisme Barat yang cenderung liberal dan sekuler, ekofeminisme dalam kerangka Islam—sebagaimana diusung oleh ‘Aisyiyah—menempatkan alam sebagai amanah dari Allah SWT yang harus dijaga dan dipelihara. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Al-A‘raf ayat 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya…” serta konsep khalifah fil-ardh (QS. Al-Baqarah: 30) yang menegaskan peran manusia sebagai pemelihara alam.

Dalam praktiknya, ‘Aisyiyah telah membangun berbagai program yang mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dan pemberdayaan perempuan. Salah satu contohnya adalah program “Gerakan Perempuan Peduli Lingkungan” yang menyasar kader-kader akar rumput di ranting dan cabang. Program ini mengajak perempuan untuk aktif dalam pengelolaan sampah rumah tangga, konservasi air, penanaman pohon, serta pengembangan energi terbarukan sederhana di tingkat komunitas.

Di banyak daerah, para ibu ‘Aisyiyah bahkan telah menginisiasi bank sampah berbasis masjid dan sekolah, mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilah sampah dan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.

Tidak hanya itu, ‘Aisyiyah juga menjadi pelopor dalam mengembangkan kurikulum pendidikan berbasis ekologi di Taman Kanak-Kanak dan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Anak-anak diajarkan sejak dini untuk mencintai bumi, memahami siklus kehidupan alam, dan menumbuhkan empati terhadap makhluk hidup. Konsep green school atau sekolah hijau yang digagas oleh amal usaha ‘Aisyiyah, bukan hanya soal penghijauan fisik, tetapi juga internalisasi nilai-nilai Islam dalam menjaga lingkungan sebagai bagian dari ibadah.

Dalam dunia internasional, peran ‘Aisyiyah juga tak bisa diabaikan. Keikutsertaan ‘Aisyiyah dalam forum-forum global seperti United Nations Climate Change Conference (COP) dan dialog antaragama mengenai ekologi menunjukkan bahwa Islam, khususnya melalui gerakan perempuan Muslim Indonesia, memiliki kontribusi signifikan dalam wacana perubahan iklim global. Di saat narasi besar ekologi masih didominasi oleh Barat, hadirnya ‘Aisyiyah memberikan wajah baru bahwa Islam adalah agama yang ramah lingkungan, dan perempuan Muslim memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin perubahan dalam krisis iklim.

Apa yang dilakukan ‘Aisyiyah sejatinya mencerminkan cita-cita besar Muhammadiyah dalam membangun “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”, yaitu masyarakat yang berkemajuan, berkeadaban, dan berkeadilan ekologis. Dalam perspektif Muhammadiyah, isu lingkungan bukanlah sekadar isu teknis atau aktivisme sekuler, melainkan bagian dari nilai tauhid sosial. Merusak alam berarti merusak keseimbangan ciptaan Allah; sebaliknya, menjaga lingkungan berarti merawat kehidupan, kemanusiaan, dan peradaban.

Penting untuk digarisbawahi bahwa gerakan ‘Aisyiyah tidak hanya menekankan aspek praksis, tetapi juga aspek ideologis dan spiritual. Ekologi dalam pandangan ‘Aisyiyah adalah bagian dari ibadah, pengabdian kepada Allah, dan aktualisasi cinta kasih kepada makhluk-Nya.  Oleh karena itu, perempuan ‘Aisyiyah tidak hanya diajak untuk menjadi aktivis lingkungan, tetapi juga menjadi pendidik keluarga dalam membentuk karakter cinta lingkungan sejak dari rumah.

Dalam budaya patriarki yang masih dominan, pendekatan ini sangat revolusioner dan strategis, karena ia membongkar stigma bahwa perempuan hanya sebagai pelengkap domestik, dan mengangkatnya sebagai pusat perubahan sosial dan ekologis.

Dengan segala kiprah dan komitmen tersebut, ‘Aisyiyah telah membuktikan bahwa pemberdayaan perempuan tidak harus menjauh dari nilai-nilai keislaman. Justru, melalui pemahaman agama yang mencerahkan, perempuan dapat menjadi kekuatan moral dan sosial yang mampu menjaga bumi dari kehancuran. Dalam konteks Indonesia yang rawan bencana alam, deforestasi, dan krisis air bersih, gerakan ini menjadi harapan baru menuju masa depan yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, ekologi keadaban yang dibangun oleh ‘Aisyiyah merupakan manifestasi nyata dari Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Perempuan berdaya bukan hanya tentang peran publik atau kemandirian ekonomi, tetapi juga tentang kemampuan mereka menjaga bumi agar tetap lestari, adil, dan manusiawi. Dengan semangat keikhlasan, ilmu, dan amal, ‘Aisyiyah menjadi pelita peradaban hijau yang menyinari jalan umat manusia di tengah gelapnya krisis lingkungan global. (*)

Tinggalkan Balasan

Search