Damai yang Dikhianati: Antara Gencatan Senjata dan Keadilan Palestina dalam Timbangan Islam

Damai yang Dikhianati: Antara Gencatan Senjata dan Keadilan Palestina dalam Timbangan Islam
*) Oleh : Moh. Mas’al, S.HI, M.Ag
Kepsek SMP Al Fatah Sidoarjo & Anggota MTT PDM Sidoarjo
www.majelistabligh.id -

Konflik antara Israel dan Hamas bukan sekadar pertikaian politik atau teritorial; ia telah menjelma menjadi tragedi kemanusiaan panjang yang menggores sejarah dunia modern. Setiap kali dunia menyambut “gencatan senjata”, tak lama kemudian deru rudal dan jeritan anak-anak Gaza kembali memecah langit malam. Pertanyaan pun muncul: Apakah Islam mengenal konsep gencatan senjata (hudnah)? Dan bagaimana para ulama memandangnya?

Gencatan Senjata dalam Sejarah Israel–Palestina

Sejak terbentuknya negara Israel pada tahun 1948, konflik dengan bangsa Arab dan Palestina tak pernah benar-benar usai. Berbagai kesepakatan gencatan senjata telah terjadi—mulai dari Perjanjian Camp David (1978), Oslo (1993), hingga kesepakatan sementara antara Israel dan Hamas (2014, 2021, dan 2023).

Namun, setiap “hudnah” sering berakhir dengan pelanggaran sepihak, terutama oleh pihak Israel yang tetap melanjutkan blokade, ekspansi permukiman, atau serangan militer berkala atas nama “keamanan nasional”.
Dalam banyak kasus, gencatan senjata menjadi strategi politik, bukan upaya tulus menuju perdamaian. Sejarah mencatat bahwa selama masa “tenang”, Israel memperkuat militernya, menambah kontrol di Tepi Barat, dan menunda rekonstruksi Gaza. Akibatnya, gencatan senjata kerap dipersepsikan sebagai jebakan diplomatik.

Hudnah dalam Perspektif Islam

Dalam khazanah Islam, gencatan senjata dikenal dengan istilah الهدنة (al-hudnah) atau الصلح (ash-shulh). Islam memperbolehkan hudnah dengan syarat-syarat yang ketat dan tujuan yang jelas: bukan untuk mengkhianati atau memperkuat pihak zalim.

Rasulullah ﷺ sendiri pernah melakukan Perjanjian Hudaibiyah, yaitu kesepakatan damai sementara antara kaum Muslimin dan Quraisy. Perjanjian itu tampak berat bagi umat Islam kala itu, namun ternyata menjadi jalan kemenangan dakwah.

Dalam hadis sahih disebutkan:
قَدْ كَانَتْ بَيْنَ النَّبِيِّ ﷺ وَقُرَيْشٍ مُدَّةٌ، فَنَقَضَتْ قُرَيْشٌ الْمِيثَاقَ، فَقَاتَلَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
Dulu pernah ada perjanjian antara Nabi ﷺ dan Quraisy, lalu Quraisy melanggarnya, maka Rasulullah ﷺ pun memerangi mereka.” (HR. البخاري رقم 2731)
Hadis ini menunjukkan bahwa Islam mengizinkan perdamaian sementara, namun bila pihak lawan mengkhianati perjanjian, maka umat Islam berhak membela diri dan mengakhiri kesepakatan tersebut.

Syarat Hudnah Menurut Ulama
Para fuqaha menetapkan beberapa prinsip penting dalam hudnah:
1. Tidak boleh merugikan umat Islam.
Imam Al-Mawardi menegaskan:
“Jika perdamaian menyebabkan kehinaan bagi kaum Muslimin atau menguatkan musuh, maka tidak boleh dilakukan.” (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hlm. 64)
Bersifat sementara dan strategis.
Ulama Syafi’iyyah membolehkan hudnah maksimal sepuluh tahun, seperti dalam Perjanjian Hudaibiyah.

2. Boleh dilakukan untuk maslahat umat.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan:
“Jika ada maslahat besar untuk kaum Muslimin, maka perdamaian boleh dilakukan meski dalam kondisi lemah, sebagaimana Nabi ﷺ melakukannya.” (Zād al-Maʿād, 3/305)

Keadilan sebagai Pondasi Perdamaian

Islam menolak perdamaian semu yang lahir dari ketidakadilan. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.
(QS. الأنفال [8]: 61)
Namun ayat ini tidak berarti menerima kedamaian palsu. Sebab, Islam menolak kompromi terhadap penjajahan, kedzaliman, dan perampasan hak. Ulama besar kontemporer seperti Syaikh Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa hudnah dibolehkan hanya jika mengandung maslahat nyata bagi kaum Muslimin dan tidak menguatkan pihak penjajah.

Solusi Islam terhadap Konflik Palestina

Islam mengajarkan bahwa keadilan adalah syarat utama perdamaian sejati. Tanpa pengakuan atas hak bangsa Palestina, tanpa berakhirnya penjajahan dan blokade Gaza, setiap gencatan senjata hanyalah jeda di antara dua gelombang penindasan.
Solusi Islam bukan sekadar diplomasi, tetapi:
1. Keadilan global atas hak bangsa Palestina.
2. Persatuan dunia Islam dalam sikap dan aksi nyata.
3. Dukungan terhadap perjuangan yang sah (muqawamah) sesuai batas syariat.
4. Menolak normalisasi yang melegitimasi penjajahan.

Gencatan senjata sejati bukan sekadar berhentinya tembakan, tetapi berhentinya kezaliman. Selama tanah Palestina tetap dijajah, selama darah anak-anak Gaza masih mengalir, maka perdamaian hanyalah ilusi diplomasi. Islam mengajarkan bahwa damai tanpa keadilan adalah bentuk lain dari kezaliman. (*)

 

Daftar Pustaka
1. Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, no. 2731.
2. Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.
3. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Maʿād fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1998.
4. Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Jihad, Kairo: Maktabah Wahbah, 2009.
5. Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, tafsir surat Al-Anfal ayat 61.
6. Rashid Khalidi, The Iron Cage: The Story of the Palestinian Struggle for Statehood, Beacon Press, 2006.
7. Noam Chomsky, Gaza in Crisis, Haymarket Books, 2010.

 

Tinggalkan Balasan

Search