Dalam khazanah Islam, jin dan manusia adalah dua makhluk ciptaan Allah SWT yang menjadi penghuni utama bumi. Jin, dikenal dengan makhluk halus, karena tidak terlihat oleh mata manusia. Sejatinya, karena Allah membuat tiap mahluk dengan limit frekuensi yang berbeda. Agar bumi ini dapat dihuni secara bersama.
Jin memiliki eksistensi nyata yang diakui dalam Al-Qur’an dan al-Hadis. Keduanya diciptakan dari unsur berbeda; manusia dari tanah, sementara jin dari nyala api. Namun mereka memiliki tanggung jawab spiritual yang sama, menjadi hamba Allah dan khalifah di muka bumi.
Allah SWT berfirman dalam QS. ar-Rahman ayat 14-15, “Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.”
Keduanya diciptakan untuk menjalani kehidupan dengan aturan dan nilai yang ditetapkan oleh Allah SWT. Meskipun memiliki perbedaan dalam wujud fisik dan kebutuhan biologis, seperti jin memakan tulang dan kotoran, sementara manusia mengonsumsi makanan dari hasil bumi. Keduanya diberi kemampuan untuk memilih antara taat atau durhaka.
Makanan Jin dan Adab Cebok
Dalam hadis riwayat Imam Muslim dan Bukhari, Rasulullah SAW melarang umat Islam menggunakan tulang dan kotoran (Jawa: telethong) untuk beristinja’ (membersihkan diri setelah buang hajat). Alasannya, dua benda tersebut merupakan sumber makanan bagi bangsa jin, khususnya jin-jin yang beriman dan hidup dalam keterbatasan.
“Janganlah kalian beristinja’ dengan tulang dan telethong, karena dua benda itu adalah makanan saudara-saudara kalian dari kalangan jin.” (HR Muslim)
Rasulullah saw sendiri pernah bertemu dengan rombongan jin dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka. Dalam kisah tersebut, para jin menyatakan keimanan mereka setelah mendengarkan firman Allah.
Surah ar-Rahman menjadi bukti bahwa jin dan manusia sama-sama diingatkan berkali-kali oleh Allah SWT dengan pertanyaan retorik:
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Ayat ini diulang hingga 31 kali, menggunakan dhamir (kata ganti orang) “kamu berdua”, yang merujuk pada jin dan manusia. Artinya, keduanya punya tanggung jawab yang sama dalam menerima dan mensyukuri nikmat Allah SWT.
Dalam QS. al-Jin ayat 1-2, diceritakan bahwa sekelompok jin mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan langsung menyatakan keimanan:
“Kami telah mendengarkan Al Qur’an yang menakjubkan, memberi petunjuk ke jalan yang benar, lalu Kami beriman kepadanya…”
Ketika Allah SWT hendak menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi, para malaikat bertanya,
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?” (QS al-Baqarah: 30)
Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Jin sebagai penghuni bumi sebelumnya sudah menunjukkan potensi destruktif: pertikaian, kerusakan, dan pertumpahan darah.
Oleh sebab itu, manusia yang datang setelahnya juga mendapat tugas besar: menjadi khalifah dengan kesadaran ibadah, bukan sekadar penguasa.
Ibadah sebagai Jalan Takwa bagi Jin dan Manusia
Perintah beribadah bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk jin. Tujuannya jelas, sebagaimana disebut dalam QS. al-Baqarah: 21,
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”
Ibadah bukan sekadar ritual, tetapi proses transformasi diri agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab, berakhlak mulia, dan membawa keberkahan di bumi.
Meski diciptakan dari unsur yang berbeda, jin dan manusia punya persamaan mendasar, diberi akal dan kehendak bebas untuk memilih jalan kebaikan atau kejahatan. Keduanya menjadi objek dakwah dan penyeru kebenaran.
Oleh karena itu, jangan pernah meremehkan peran makhluk tak kasat mata ini dalam sejarah spiritual umat manusia.
Sebagai Muslim, penting bagi kita untuk memahami keberadaan jin bukan untuk ditakuti, tapi untuk dijadikan pelajaran. Sebab, sebagaimana manusia, jin pun bisa menjadi saudara dalam iman, atau sebaliknya, musuh dalam kejahatan. (*)
