Agustus 2025, yang seharusnya menjadi bulan penuh haru biru kemerdekaan, berubah menjadi panggung luka dan perlawanan. Sejak awal bulan, suasana sudah menggelegak.
Spanduk-spanduk mulai terbentang di jalanan, suara toa kembali menggema, dan ribuan kaki melangkah bersama dalam derap yang tak bisa lagi dibendung. Namun yang paling membekas bukanlah kemeriahannya, melainkan tangis dan darah yang membasahi aspal ibu kota.
Awal Agustus yang biasanya dirayakan dengan lomba-lomba rakyat dan upacara bendera, kini dibuka dengan jeritan massa yang memenuhi jalan-jalan protokol. Mereka bukan datang membawa kemeriahan, tapi kemarahan.
Kemarahan yang selama ini mendidih dalam dada, akhirnya tumpah ruah dalam bentuk demonstrasi yang terus membesar. Laporan demi laporan korupsi mencuat, memperlihatkan borok para pejabat yang menggerogoti uang rakyat dengan senyum di depan kamera.
Rakyat muak. Murka. Tidak ada lagi ruang untuk basa-basi. Keadilan yang sudah terlalu lama diabaikan, kini dituntut dengan suara lantang dan langkah kaki yang mengguncang ibu kota.
Pertengahan Agustus menjadi puncak luka. Banyak yang berpikir, demo hanya akan jadi rutinitas tahunan yang sepi hasil. Tapi tahun ini berbeda. Darah benar-benar tumpah. Bentrokan dengan aparat pecah di banyak titik. Doa-doa bergema di tengah gas air mata, dan luka-luka tak hanya terlihat di tubuh, tapi juga di hati yang dikhianati.
Beberapa aktivis ditangkap, sebagian hilang, dan sebagian lain memilih tetap berdiri, meski tahu peluru bisa datang kapan saja. Sosial media dipenuhi tayangan video kekerasan, tetapi juga seruan keberanian. Rakyat tidak lagi takut, karena mereka sadar: ketakutan mereka selama ini hanya menguatkan tirani.
Menjelang akhir Agustus, kehancuran moral pejabat semakin terbuka lebar. Investigasi independen dan laporan jurnalis menguak kemewahan para elite yang didapat dari uang bansos, pendidikan, dan pajak rakyat kecil.
Kemerdekaan yang seharusnya bermakna pembebasan, justru terasa sebagai penghinaan di tahun ini. Bukannya merdeka dari penindasan, rakyat justru semakin dicekik oleh penguasa yang rakus dan tanpa malu. Perayaan 80 tahun kemerdekaan pun menjadi simbol kepalsuan: upacara megah di atas penderitaan, pidato-pidato manis di atas tumpukan kebohongan.
Menurut saya, Agustus 2025 akan dikenang bukan sebagai bulan kemerdekaan, tapi sebagai bulan perhitungan. Derap kaki rakyat yang terus berjalan adalah alarm keras bagi bangsa ini. Doa-doa mereka bukan lagi untuk merayakan, tetapi untuk menyembuhkan. Dan darah yang tumpah bukan sia-sia — itu adalah harga mahal dari keadilan yang terus diperjuangkan.
Jika makna kemerdekaan tidak bisa dirawat oleh pemimpin, maka rakyatlah yang akan menafsirkan ulang arti kemerdekaan itu, dengan suara, aksi, dan keberanian mereka sendiri. Goodbye Agustus, selamat datang babak baru perlawanan.
