Sejak lama, saya selalu merasa tertarik pada kisah-kisah yang mengandung pelajaran hidup. Cerita-cerita hikmah tidak hanya memberi inspirasi, tapi juga menjadi cermin untuk memperbaiki diri. Seperti cerita yang satu ini:
Suatu pagi yang teduh di Madinah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat terdekat Rasulullah saw., menyambangi rumah putrinya, Aisyah. Rindu yang dalam menyelimuti hatinya sejak Rasulullah wafat. Ia ingin memastikan, apakah masih ada satu sunah kekasihnya yang belum ia tunaikan.
“Wahai putriku,” kata Abu Bakar dengan suara lembut, “adakah satu sunah kekasihku yang belum aku jalani?”
Aisyah tersenyum haru. Ayahnya memang seorang pecinta sunah sejati. Tiada hari yang ia lalui tanpa berusaha mengikuti jejak Rasulullah. Namun Aisyah teringat sesuatu yang tak banyak diketahui.
“Wahai ayahku,” jawab Aisyah perlahan, “engkau adalah ahli sunah. Hampir semua yang dilakukan Rasulullah telah engkau teladani. Namun ada satu hal kecil yang barangkali luput dari perhatianmu.”
“Apa itu?” tanya Abu Bakar dengan mata yang mulai basah.
“Setiap pagi,” ucap Aisyah lirih, “Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar. Beliau membawa makanan, lalu menyuapi seorang pengemis Yahudi buta yang duduk di sana. Rasulullah tak pernah memperkenalkan diri. Dia hanya datang, menyuapi dengan sabar, mendengarkan keluhannya, meskipun si pengemis sering mencela beliau tanpa tahu bahwa yang menyuapinya adalah orang yang sama.”
Mata Abu Bakar berkaca-kaca. Keesokan harinya, ia pun bersiap dengan sepiring makanan. Dengan langkah perlahan, ia menuju pasar, tepat ke tempat yang dikisahkan Aisyah.
Benar saja, di sudut pasar itu duduk seorang pengemis tua. Matanya kosong menatap kehampaan. Abu Bakar menghampirinya dengan senyum tulus.
“Wahai bapak,” ucap Abu Bakar, “bolehkah aku menyuapimu seperti biasanya?”
Pengemis itu tiba-tiba merengut. “Siapa kamu?! Bukan, bukan kamu! Tangannya tidak seperti ini. Cara menyuapinya tidak selembut itu. Suaranya pun berbeda!”
Abu Bakar tertegun. Tangannya gemetar. Air mata mulai jatuh dari pipinya.
“Benar, aku bukan dia,” ucap Abu Bakar dengan suara parau. “Aku hanyalah sahabatnya. Dia adalah Muhammad, kekasih Allah… yang kini telah wafat.”
Pengemis itu tercekat. Tangannya yang gemetar meraba wajahnya sendiri. Seolah menyesap kabar itu dengan tak percaya. “Muhammad… orang yang setiap pagi menyuapiku… yang sabar mendengarkan cacianku… yang tak pernah marah… itu Muhammad?”
Abu Bakar mengangguk. “Itulah dia. Yang kau hina tiap hari, tapi tetap datang kepadamu dengan kasih.”
Tiba-tiba, pengemis itu menangis keras. Tubuhnya terguncang oleh penyesalan yang dalam.
“Bagaimana mungkin aku tak tahu… Bagaimana mungkin aku mencaci orang yang begitu lembut dan penuh cinta…”
Dalam beberapa riwayat yang tersebar, pengemis itu akhirnya memeluk Islam. Dia tersentuh oleh kasih sayang Nabi Muhammad saw yang bahkan tak membutuhkan pengakuan.
Dia sadar bahwa cinta sejati tak selalu datang dengan nama dan gelar. Ia datang dengan ketulusan, dengan keikhlasan, seperti jejak cinta yang tak pernah diucap, tapi begitu dalam terasa.
***
Kisah itu membekas sungguh dalam benak saya. Bukan hanya karena keindahan ceritanya, tetapi karena kedalaman maknanya.
Dalam diam, Nabi mengajarkan bahwa cinta bukan sekadar kata-kata. Dia hidup dalam tindakan, dalam kesabaran menghadapi caci maki, dalam keikhlasan memberi tanpa pamrih.
Di zaman ini, kita kerap terbiasa mengekspresikan cinta dengan simbol-simbol besar: kata-kata manis, hadiah mewah, pernyataan terbuka di ruang publik.
Namun, kisah Nabi Muhammad saw dengan pengemis buta itu mengajarkan bahwa cinta sejati justru tumbuh dalam kesunyian.
Cinta tidak tumbuh dari gemuruh pujian atau sorotan mata manusia, tetapi dari ruang-ruang kecil yang tak terlihat.
Dari sudut-sudut kehidupan yang sunyi, tempat di mana niat murni lebih penting daripada penilaian orang.
Cinta itu hadir dalam tindakan-tindakan sederhana yang konsisten. Mengulurkan tangan tanpa mengharap terima kasih. Menyuapi tanpa perlu dikenali. Mendengarkan keluhan tanpa membalas cercaan.
Cinta itu bukan drama. Bukan orasi. Bukan pula balutan kata-kata yang membuai. Dia hadir dalam kesabaran. Dalam ketekunan memberi tanpa menimbang-nimbang untung rugi.
Jejak cinta yang tak terucap itu bahkan mampu menembus dinding kebencian. Bukankah si pengemis itu awalnya mencela Nabi setiap hari? Namun justru dari tangan yang menyuapinya, dari sabar yang tiada balas dendam, dia merasakan kasih sayang yang tak ia duga.
Itulah kekuatan cinta yang otentik. Bukan yang diiklankan, tapi yang diam-diam mengubah hati.
Saya membayangkan, betapa dunia ini akan jauh lebih damai jika kita semua mampu menghadirkan cinta dalam bentuk seperti itu. Cinta tanpa menuntut balasan.
Cinta yang hadir untuk memberi, bukan sekadar dilihat. Cinta yang melampaui sekat agama, usia, dan status sosial.
Dalam relung terdalam hati manusia, barangkali itulah cinta yang paling dirindukan. Yang tidak membutuhkan pengakuan, tapi tetap setia hadir.
Dan di sanalah, jejak cinta Nabi Muhammad saw terus hidup.Tak terhapus oleh waktu. Tak terbatasi oleh kata.
***
Coba kita tengok kehidupan hari ini, terutama di media sosial. Ruang yang seharusnya bisa menjadi sarana berbagi kebaikan justru kerap dipenuhi oleh riuhnya caci maki, hujatan, dan fitnah.
Kata-kata dilontarkan begitu saja, tanpa jeda, tanpa pertimbangan. Seolah-olah lidah tak lagi membawa tanggung jawab, dan kata-kata tak lagi punya beban moral.
Ujaran kebencian dijajakan seperti dagangan harian. Mereka tak peduli siapa yang tersakiti. Tak ada lagi empati pada sesama.
Anak-anak kini banyak yang tak lagi tahu cara menghormati. Kata-kata kasar, gestur merendahkan, dan sikap menantang orang tua seolah dianggap wajar. Yang menyedihkan, kadang kenyataan itu malah dianggap lucu dan viral.
Sementara di sisi lain, banyak orang tua pun kehilangan keteladanan. Nasihat-nasihat mereka kehilangan makna karena tak diiringi contoh nyata. Tidak dilandasi kasih yang tulus.
Kita hidup dalam zaman di mana suara lebih lantang daripada subtansi. Emosi lebih cepat meledak daripada empati yang mengendap.
Semua ingin bicara. Sedikit sekali yang ingin mendengar. Semua ingin tampil. Sedikit sekali yang ingin melayani.
Dan di tengah hiruk pikuk ini, agaknya kita perlu menginsyafi jejak cinta Nabi Muhammad.
Kisah beliau bersama pengemis buta itu menyimpan pelajaran yang sangat kita butuhkan hari ini. Tentang kesabaran dalam menghadapi cercaan. Tentang kasih yang tak perlu diumumkan. Tentang memberi yang tak menuntut balasan.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak. Bertanya pada diri sendir, di manakah posisi kita dalam kisah ini?
Apakah kita lebih mirip Nabi yang diam-diam mencintai dan memberi, atau justru mirip pengemis yang mudah mencela tanpa mengenal siapa yang kita hakimi?
Seketika ingatan saya melayang pada pesan Dr. KH. Muhammad Sholihin Fanani, senior saya di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Dalam satu tausiyah yang saya dengar, dia menyampaikan dengan lembut bahwa puncak keimanan bukan hanya soal ibadah atau ilmu, tapi akhlak mulia.
Dan akhlak itu, kata beliau, terlihat dari cara kita menjaga perasaan orang lain—terutama saat kita sedang berbuat baik.
Di antara bisingnya dunia, semoga kita tak kehilangan arah. Semoga kita bisa menelusuri kembali jejak-jejak cinta yang tak terucap.
Wallahu a’lam bishawab. (*)
