Silakan duduk santai di teras, seruput kopi arenmu perlahan, lalu buka Google Maps di ponsel. Cari Pulau Kangean. Di sana akan tampak seperti titik kecil di tengah laut biru.
Jika seluruh Madura diibaratkan kalimat panjang bernama Kabupaten Sumenep, maka Kangean adalah tanda baca di ujungnya. Kecil, tapi berarti. Sebab di titik kecil itu, kehidupan tetap berdenyut. Kadang pelan, kadang tergesa-gesa, kadang secepat kilat, terutama ketika nyawa seseorang bergantung pada setetes darah.
Darah yang Sulit Ditemukan
Kangean itu jauh. Jika laut bersahabat, kapal cepat dari Kalianget ke sana menempuh empat jam perjalanan.
Jika ombak sedang tinggi, perjalanannya bisa lebih lama daripada penerbangan Surabaya–Jakarta yang delay.
Di pulau itu, darah manusia menjadi barang paling berharga, sekaligus paling langka. Bukan karena orang Kangean enggan berdonor. Tidak. Rasa gotong royong mereka masih hidup.
Tapi tidak ada tempat berdonor yang aman, kulkas darah sering mati karena listrik padam, dan genset kadang hidup, kadang ngambek.
Malam Panjang di Ruang Bersalin
Suatu malam di sebuah ruang perawatan di Kepulauan Kangean, listrik padam. Genset menyala, tapi lampu-lampu meredup. Di ruang perawatan itu, seorang ibu muda terbaring pucat, tekanan darahnya turun, darahnya terus mengalir.
Dokter di sana panik.
Darah dengan golongan yang sama tidak ada. PMI di daratan baru bisa mengirim esok pagi, menunggu kapal berangkat. Tapi darah tidak mengenal kata tunggu.
Dalam diam, mereka berdoa, berharap ada yang datang tengah malam, mengetuk pintu dan berkata, “Kalau tidak ada darah, saya donor langsung, Dok.”
Mungkin, malam itu transfusi bisa dilakukan.
Mungkin, ibu itu bisa selamat.
Harus Punya Unit Donor Darah
Dari kisah seperti itulah tekad itu lahir: Kangean harus punya Unit Donor Darah sendiri. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi agar mereka tidak terus hidup di antara harap dan panik.
Maka dimulailah langkah kecil: sebuah ruangan lama di belakang rumah sakit dicat ulang, kulkas darah didatangkan, tenaga medis dikirim belajar ke daratan. Pelatihan seadanya perlu dilakukan.
Setiap tetes darah yang tersimpan di kulkas kecil itu adalah bukti bahwa kemanusiaan bisa hidup bahkan di ujung pulau.
“Yang penting bisa bantu orang dulu,” kata seorang tenaga medis di sana, yang hanya sekali naik pesawat, waktu pelatihan ke Surabaya.
Sekarang, ia bertanggung jawab menjaga agar darah di kulkas kecil itu tetap hidup, bahkan ketika listrik padam di tengah malam.
Tidak semua kemajuan datang dari proyek besar. Kadang, kemajuan lahir dari ruangan kecil dengan lampu hemat energi, di pulau yang sinyalnya hilang-timbul. Dari niat sederhana agar darah tidak perlu menunggu kapal.
Dari daratan, PMI dan Pemkab Sumenep memberi dukungan. Dari provinsi, datang peralatan. Dari masyarakat, muncul semangat “Kalau butuh darah, kami siap.”
Di Kangean, semangat itu seperti gelombang laut. Datang tanpa diundang.
Jembatan Tak Tampak
Mungkin, dulu kita berpikir bahwa membangun jembatan antar pulau adalah impian besar.
Tapi kini, Kangean sedang membangun jembatan yang lebih halus, jembatan darah.
Jembatan yang tidak terlihat, tapi menghubungkan hidup dan harapan.
Antara donor dan pasien, antara darat dan pulau, antara manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Suatu hari nanti, Unit Donor Darah Kangean akan menjadi kisah kecil yang besar: tentang pulau yang jauh tapi tidak lagi tertinggal.
Tentang darah yang tak lagi menunggu kapal.
Tentang manusia yang saling menghidupkan.
Dan ketika seseorang bertanya, “Di mana darah pertama dari UDD Kangean disimpan?”
Mereka akan menjawab sambil tersenyum, “Di kulkas kecil, di pulau besar hati.”
Setetes Darah, Sejuta Makna
Setetes darah di ujung pulau mungkin tak terlihat oleh mata dunia,
tapi di sanalah nilai kemanusiaan diuji.
Bukan seberapa kaya fasilitas kita, tapi seberapa tulus kita peduli.
Kangean mengajarkan bahwa kemajuan bukan hanya tentang infrastruktur, melainkan tentang rasa. Ya, rasa ingin menolong sesama, rasa ingin menyambung hidup orang lain.
Karena di mana ada setetes darah yang disumbangkan dengan cinta, di sanalah Allah menumbuhkan kehidupan. “Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.” (QS. Al-Maidah: 32)
Di ujung pulau, setetes darah menjadi saksi: bahwa kemanusiaan tidak pernah jauh asal hati tetap dekat. (*)
