Ketika Sejarah dan Modal Membungkam Kebenaran: Refleksi Keikhlasan dan Keberanian dalam Dakwah

*) Oleh : Syahrul Ramadhan SH, M.Kn, CLQ
Sekretaris LBH AP PDM Lumajang
www.majelistabligh.id -

Dalam dinamika kehidupan sosial, dakwah, dan kepemimpinan umat, kita kerap menjumpai suara-suara yang dibungkam atas nama dua hal: sejarah dan modal.

Sejarah dijadikan klaim otoritatif untuk mengunci kritik: “Kami yang merintis,” “Kami yang dulu berdarah-darah,” sementara modal dijadikan tameng kekuasaan: “Kami yang membiayai,” “Kami yang menopang.”

Dua alasan itu seolah cukup untuk mematikan ruang diskusi dan mengkriminalisasi perbedaan pendapat—seolah kebenaran hanya boleh disuarakan oleh mereka yang punya jasa dan kuasa.

Namun dalam pandangan Islam, sejarah dan modal bukanlah parameter mutlak dalam menilai benar atau salah.

Allah menimbang berdasarkan niat, ketulusan, keberanian dalam menegakkan yang haq, dan keikhlasan dalam menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar, bukan semata-mata karena seseorang telah lama, banyak berperan, atau menyumbang dana.

Kekuasaan Bukan Milik Siapa-siapa

Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali ‘Imran: 26)

Ayat ini mengajarkan bahwa kekuasaan sejatinya bukan milik siapa-siapa. Ia datang dan pergi atas kehendak Allah, bukan semata karena sejarah panjang atau kekuatan modal.

Maka siapa pun yang merasa paling berhak hanya karena pernah memimpin atau berjasa, perlu kembali merenungi makna tauhid dan keikhlasan.

Sejarah Adalah Catatan Amal, Bukan Alat Pembungkam

Menggunakan sejarah sebagai senjata untuk membungkam kritik adalah bentuk kesombongan yang terselubung. Sejarah adalah catatan amal, bukan alat pembenar mutlak. Bahkan amal besar sekalipun tidak lantas menjadi benteng dari kesalahan hari ini.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah mengetahui segala yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS Al-Ghafir: 19)

Amal hanya akan bernilai jika dilakukan karena Allah. Jika sejarah digunakan untuk menekan, mengklaim kebenaran tunggal, atau menghalangi orang lain berbicara, maka bisa jadi amal tersebut telah ternoda oleh penyakit hati: riya’, ujub, bahkan hasad.

Modal Tidak Menentukan Derajat

Tak jarang orang berkata, “Kami yang membiayai, maka kami yang menentukan.” Dalam kerangka Islam, modal bukanlah penentu kemuliaan. Modal hanyalah sarana, bukan substansi dakwah. Allah menilai bukan dari apa yang dimiliki, tapi dari niat dan amal saleh.

“Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan jangan mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS Al-Kahfi: 110)

Siapa pun yang menjadikan modal sebagai alat untuk mendikte umat dan menundukkan arah perjuangan, berarti telah menggeser orientasi tauhid menjadi syirik khafi—menyekutukan Allah dalam penentuan amal.

Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Niat adalah poros utama dalam menilai amal. Maka niat untuk membenahi dan menyuarakan kebenaran harus lebih kuat dari sekadar mempertahankan posisi dan pengaruh. Jangan sampai amal besar menjadi tidak bernilai karena niat yang keliru.

Berani Menyuarakan Kebenaran Adalah Jihad

Ketika suara kebenaran dibungkam atas nama sejarah dan modal, Islam justru memuliakan mereka yang tetap bersuara.

“Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Tirmidzi)

Diam dalam kebatilan karena takut pada sejarah atau terintimidasi modal adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah dakwah. Sedangkan menyuarakan kebenaran dengan adab dan keberanian adalah cermin iman dan kemuliaan.

Bagi siapa pun yang hendak menyuarakan kebenaran, tak perlu gentar karena tak punya sejarah panjang atau modal besar. Niat yang lurus, amal yang ikhlas, dan keberanian menegakkan yang hak adalah kunci kemuliaan di sisi Allah.

Sebaliknya, bagi siapa pun yang berkiprah dalam Muhammadiyah, marilah kita merenung:

Apakah kita masih berjuang karena Allah atau sudah tergelincir karena pamrih? Apakah kita berdakwah karena cinta atau karena ingin dipuja?

Sebab jika engkau berada dalam Muhammadiyah hanya untuk pamrih kekuasaan, kehormatan, atau keuntungan pribadi, maka ketauhidanmu patut dipertanyakan.

Muhammadiyah bukan tempat mencari dunia, melainkan medan perjuangan dalam keikhlasan, ladang amal dalam gerak tajdid, dan perahu dakwah untuk menyelamatkan umat.

Mari kita Ingat, kalimat penutup yang menjadi ciri khas Kemuhammadiyahan bukanlah sekadar penghias acara, tetapi deklarasi tauhid, komitmen perjuangan, dan pengingat bahwa kemenangan hanyalah milik mereka yang ikhlas di jalan-Nya:

Billāhi fī sabīlil-ḥaqq fastabiqul-khairāt
(Demi Allah di jalan kebenaran, berlomba-lombalah dalam kebajikan)

Naṣrum minallāhi wa fat-ḥun qarīb
(Pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat)

Wa basysyiril-mu`minīn
(Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman)

 

 

Tinggalkan Balasan

Search