H.O.S. Tjokroaminoto adalah nama yang tak hanya hidup dalam buku sejarah, tetapi juga dalam napas peradaban bangsa. Lahir di Desa Bakur, Kecamatan Jiwan, Kabupaten Madiun pada 16 Agustus 1882, ia tumbuh dari keluarga bangsawan yang terdidik namun memilih jalan pengabdian kepada rakyat kecil.
Sejak muda, ia telah menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar jalan menuju kehormatan pribadi, melainkan alat pembebasan bagi seluruh bangsa. Dari ruang-ruang kelas OSVIA hingga pergaulan dengan kaum pergerakan, semangatnya terasah untuk menentang ketidakadilan dan mengangkat martabat bangsa.
Ketika Sarekat Islam berdiri pada tahun 1912, Tjokroaminoto tampil sebagai pemimpin dengan visi luar biasa. Di tangannya, Sarekat Islam berubah dari organisasi pedagang menjadi wadah kebangkitan politik rakyat. Ia memperjuangkan kesetaraan sosial, menghapus diskriminasi, dan menanamkan kesadaran bahwa Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri.
Dari podium-podium rapat dan tulisan-tulisannya di surat kabar, lahir gagasan tentang kemerdekaan yang berakar pada moral, iman, dan keilmuan. Bagi Tjokroaminoto, kemerdekaan sejati bukan hanya lepas dari penjajah, tetapi juga lepas dari kebodohan dan ketergantungan.
Sebagai guru dan pemimpin, ia menjadi sosok panutan yang membentuk karakter banyak tokoh besar bangsa. Rumahnya di Surabaya menjadi tempat belajar yang hidup, tempat ide-ide kebangsaan diperdebatkan dan dipertajam. Dari sana lahir generasi yang kelak mengubah sejarah: Soekarno, Semaun, Kartosuwiryo, dan banyak lainnya.
Ia tidak sekadar mengajar teori, melainkan menanamkan prinsip yang masih relevan hingga kini: setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Kalimat ini menjadi kompas moral dan intelektual bagi siapa pun yang ingin berjuang di jalan kebenaran.
Namun perjuangan besar tak lepas dari ujian. Tjokroaminoto beberapa kali dipenjara oleh pemerintah Hindia Belanda karena keberaniannya bersuara. Meski begitu, tidak ada rasa takut yang menyelimuti hatinya. Ia memahami bahwa kebebasan membutuhkan pengorbanan, dan pemimpin sejati adalah mereka yang bersedia menanggung risikonya. Ia tidak melawan dengan amarah, tetapi dengan ilmu dan gagasan. Dalam setiap tulisannya, terselip keyakinan bahwa keadilan akan menang jika rakyat berani berpikir dan bersatu.
Di balik ketegasan politiknya, Tjokroaminoto juga seorang pemikir pendidikan. Ia menyadari bahwa kemerdekaan bangsa tak akan tercapai tanpa rakyat yang terdidik. Melalui gagasan Moeslim Nationale Onderwijs, ia menekankan pentingnya pendidikan Islam yang modern — pendidikan yang memadukan nilai spiritual dan rasionalitas ilmiah.
Ia menolak anggapan bahwa agama dan kemajuan bertentangan. Justru menurutnya, Islam adalah sumber inspirasi bagi pembaruan, yang menuntun manusia menuju kecerdasan dan kemanusiaan yang utuh.
Ketika Tjokroaminoto wafat di Yogyakarta pada 17 Desember 1934, Indonesia kehilangan seorang guru bangsa. Namun gagasan dan keteladanannya tidak ikut terkubur. Ia meninggalkan jejak yang mengakar dalam kehidupan intelektual dan spiritual masyarakat Indonesia. Pemerintah kemudian menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1961, pengakuan resmi terhadap perjuangan yang tak hanya membangun gerakan politik, tetapi juga kesadaran nasional yang mendalam. Di Yogyakarta, kota tempat ia menghembuskan napas terakhir, semangatnya terus hidup melalui berbagai lembaga pendidikan dan kegiatan sosial yang terinspirasi olehnya.
Salah satu wujud nyata penghormatan itu adalah berdirinya Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY). Kampus ini bukan sekadar institusi pendidikan tinggi, melainkan simbol kelanjutan cita-cita Tjokroaminoto. Didirikan dengan semangat untuk menyatukan ilmu, iman, dan pengabdian, UCY menegaskan bahwa perjuangan seorang tokoh tidak berhenti di masa lalu. Melalui pendidikan, semangat Tjokroaminoto dihidupkan kembali dalam generasi baru yang belajar bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk masyarakat dan bangsa.
Kini, di tengah arus globalisasi dan tantangan zaman digital, nilai-nilai Tjokroaminoto terasa semakin relevan. Generasi muda membutuhkan arah moral di tengah derasnya informasi dan perubahan. Prinsip ilmu, tauhid, dan siasat menjadi pegangan agar kemajuan tidak kehilangan makna. Kampus seperti UCY menjadi ruang di mana gagasan itu dipraktikkan: belajar dengan iman, berpikir dengan nalar, dan bertindak dengan kebijaksanaan. Ini adalah cara paling nyata untuk melanjutkan warisan seorang guru bangsa.
Tjokroaminoto mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukanlah yang paling berkuasa, tetapi yang paling mampu menyalakan cahaya di hati orang lain. Ia tidak meninggalkan istana atau harta, melainkan pemikiran yang menuntun bangsa ini menuju kemerdekaan. Murid-muridnya mungkin berbeda jalan, tapi semuanya membawa bara semangat yang sama — keinginan untuk melihat Indonesia berdiri tegak dengan harga diri dan pengetahuan.
Lebih dari seratus tahun sejak Sarekat Islam berdiri, api perjuangan Tjokroaminoto belum padam. Ia menyala di ruang-ruang kelas, di mimpi para mahasiswa, dan di setiap langkah generasi muda yang menolak menyerah pada keadaan. Yogyakarta menjadi saksi bisu lahirnya kembali nilai-nilai itu — dari makam sederhana di Kuncen, hingga ruang kuliah Universitas Cokroaminoto. Sejarah membuktikan, seorang guru sejati tak pernah mati; ia hidup dalam pikiran dan semangat bangsa yang terus belajar untuk merdeka. (*)
