Menjadi guru muda di era digital bukan sekadar menjalani profesi, tetapi juga sebuah perjalanan pembentukan jati diri. Bagi mahasiswa PAI 2025 yang sedang menjalani PPL di SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta, pengalaman ini menjadi panggung nyata untuk menguji kemampuan, kesabaran, dan komitmen terhadap dunia pendidikan. Mengajar bukan hanya tentang menyampaikan materi, melainkan juga membentuk karakter, nilai, dan semangat keislaman di tengah perubahan zaman yang begitu cepat.
Sebagai calon guru muda, saya menyadari bahwa peran seorang pendidik kini tak bisa dilepaskan dari teknologi. Di ruang kelas, siswa tumbuh dalam lingkungan yang serba digital, terbiasa dengan informasi cepat, dan cenderung lebih tertarik pada visual serta interaksi yang dinamis.
Tantangan terbesar muncul ketika harus menyesuaikan metode pembelajaran agar tidak kalah menarik dibandingkan dunia maya yang mereka hadapi setiap hari. Di sinilah kreativitas guru muda diuji—bagaimana memadukan nilai-nilai kemuhammadiyahan dengan cara penyampaian yang modern dan tetap bermakna.
Selama mengajar mata pelajaran Kemuhammadiyahan di bawah bimbingan Pak Dimas Urip Santoso, S.Pd, saya belajar banyak hal yang tidak bisa ditemukan hanya dari teori. Beliau mengajarkan bahwa menjadi guru berarti juga menjadi teladan dalam tutur kata, sikap, dan cara berpikir. Tantangan sebenarnya bukan hanya bagaimana siswa memahami pelajaran, tetapi bagaimana mereka merasakan kehadiran nilai-nilai Islam dalam setiap proses belajar. Dari situ saya memahami bahwa guru bukan sekadar pengajar, melainkan pembimbing ruhani yang menanamkan karakter dan akhlak mulia.
Namun, perjalanan ini tidak selalu mudah. Terkadang saya merasa gugup saat pertama kali berdiri di depan kelas, menghadapi siswa dengan karakter yang beragam. Ada yang aktif, ada yang diam, bahkan ada yang kurang antusias terhadap pelajaran agama. Di momen itu saya belajar bahwa pendekatan emosional dan komunikasi personal menjadi kunci. Guru tidak cukup hanya pintar mengajar, tetapi juga harus sabar mendengar dan bijak memahami latar belakang setiap siswa.
Tantangan lain yang muncul adalah bagaimana mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran PAI. Saya mencoba menggunakan media digital sederhana seperti video singkat, kuis interaktif, atau tayangan kisah tokoh Muhammadiyah untuk menarik perhatian siswa. Awalnya terasa sulit, tetapi perlahan saya melihat perubahan—siswa menjadi lebih antusias dan terlibat aktif dalam diskusi. Dari situ saya sadar bahwa teknologi bukan ancaman, melainkan alat yang dapat membantu menyebarkan nilai-nilai Islam secara lebih luas dan menarik.
Selain tantangan teknis, ada pula ujian mental dan spiritual. Menghadapi kenyataan bahwa tidak semua usaha akan langsung membuahkan hasil membuat saya belajar arti keikhlasan. Seorang guru muda harus berani jatuh dan bangkit kembali. Kadang setelah mengajar, saya merenung, memperbaiki kesalahan, dan menyiapkan strategi baru. Proses ini mengajarkan makna perjuangan sebenarnya—bahwa mendidik adalah bentuk ibadah yang menuntut kesungguhan dan keikhlasan hati.
Dukungan dari guru pembimbing dan lingkungan sekolah menjadi hal yang sangat berarti. Di SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta, suasana kebersamaan antara guru dan siswa terasa hangat. Kolaborasi, diskusi, serta bimbingan dari Pak Dimas membuat saya merasa tidak berjalan sendiri. Setiap evaluasi menjadi kesempatan untuk tumbuh lebih baik, setiap nasihat menjadi dorongan agar lebih percaya diri. Dari sinilah semangat saya sebagai calon guru muda semakin kokoh.
Menjadi guru muda di era digital berarti siap menghadapi perubahan tanpa kehilangan arah nilai. Dunia boleh berubah, tetapi semangat dakwah dan pendidikan tetap menjadi fondasi utama. Bagi mahasiswa PAI 2025, pengalaman mengajar di SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta bukan hanya latihan profesi, tetapi juga ladang pengabdian. Di sanalah harapan tumbuh—bahwa di tengah tantangan zaman, masih ada generasi guru muda yang siap berdiri teguh, mengajar dengan ilmu, membimbing dengan hati, dan berjuang dengan iman. (*)
