*)Oleh: Dr. Sholikhul Huda, M.Fil,I
(Ketua PRM Masangan Wetan Sidoarjo & Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana UM Surabaya)
Tulisan ini merupakan sebuah tafsir dalam rangka memahami narasi menarik dan menggelitik “ojo ngakali Muhammadiyah” yang disampaikan oleh Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Prof. Dr. dr. Sukadiono, MM di saat memberikan motivasi penguatan ber-Muhammadiyah pada Dosen dan Tenaga Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya, pada Senin (14/7/ 2025 di Auala Gedung AT Tauhid Lt. 13 UM Surabaya.
Dalam kehidupan organisasi yang besar dan bersejarah seperti Muhammadiyah, ada satu prinsip tak tertulis yang harus terus dipegang oleh setiap kader dan simpatisan: “ojo ngakali Muhammadiyah.” Ungkapan sederhana ini berasal dari akar budaya Jawa yang sarat makna, yang jika diterjemahkan bebas berarti: jangan memanipulasi Muhammadiyah.
Ia bukan sekadar nasihat moral, melainkan peringatan spiritual sekaligus kompas etika bagi mereka yang menahkodai atau mengabdi dalam gerakan ini.
Muhammadiyah bukanlah milik segelintir orang, bukan pula kendaraan politik untuk ambisi personal. Ia adalah gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang telah berdiri lebih dari satu abad, dibangun atas dasar keikhlasan, ilmu, dan keteladanan. Maka ketika seseorang mencoba “mengakali” Muhammadiyah entah dengan membelokkan arah gerak demi kepentingan pribadi, mempolitisasi struktur, atau menunggangi nama besar persyarikatan untuk popularitas—maka sesungguhnya ia sedang merusak sesuatu yang suci.
“Ojo ngakali Muhammadiyah” adalah peringatan agar kita tetap jujur dalam berkhidmat. Jika dalam organisasi lain akal-akalan bisa jadi strategi, di Muhammadiyah hal itu justru menggerogoti fondasi moral gerakan.
Aktivis Muhammadiyah sejati tidak hanya bicara tentang struktur, jabatan, atau proyek sosial. Mereka berangkat dari ruh spiritual yang tulus: berdakwah, mencerdaskan umat, dan memajukan kehidupan. Maka aktivisme Muhammadiyah bukan hanya soal menghadiri rapat, menyusun program, atau tampil dalam forum. Aktivisme di sini adalah bentuk pengabdian yang seharusnya dilandasi oleh ikhlas dan amanah.
Namun hari ini, kita mulai melihat pergeseran. Ketika sebagian aktivis mulai menghitung “apa yang kudapat dari Muhammadiyah” alih-alih “apa yang bisa kuberikan”, di situlah spiritualitas melemah. Kita harus bertanya kembali: Apakah saya sedang berjuang untuk Muhammadiyah, atau sedang memakai Muhammadiyah untuk kepentingan lain?
Refleksi sosial-spiritual adalah keniscayaan bagi setiap aktivis. Muhammadiyah mengajarkan tajdid (pembaharuan), tetapi pembaruan itu tidak boleh mengaburkan niat. Setiap aktivis harus berani berkaca: Apakah gerakan saya murni untuk dakwah dan kemaslahatan, atau telah tercampur ambisi pribadi?
Kita mungkin bisa mengelabui manusia, merancang pencitraan, dan bermain politik di belakang layar. Tapi kita tidak bisa “ngakali” Allah, dan tidak bisa memanipulasi ruhul jihad Muhammadiyah yang dibangun oleh para pendahulu dengan keringat dan air mata serta niat tulus ikhlas.
Muhammadiyah tidak anti kritik, tapi ia alergi pada manipulasi. Keterbukaan organisasi ini adalah kekuatan, tetapi juga menjadi titik rawan jika tidak diiringi kesadaran etik dari dalam. Di sinilah pentingnya setiap aktivis menjaga marwah Muhammadiyah—dengan kejujuran, akhlak, dan keteladanan. Bukan soal berapa besar jabatanmu di Muhammadiyah, tapi seberapa tulus pengabdianmu. Bukan soal seberapa keras kamu bicara di forum, tapi seberapa dalam kamu mendengar suara hati umat.
“Ojo ngakali Muhammadiyah” bukan larangan kaku, tapi panggilan hati. Ini adalah seruan agar kita semua, para aktivis sosial-spiritual dalam tubuh persyarikatan, tetap rendah hati, jujur, dan bertanggung jawab. Kita tidak sedang mencari panggung, tapi sedang menjaga warisan. Kita bukan sedang berkuasa, tapi sedang berkhidmat.
Mari terus menapak jalan dakwah ini dengan hati bersih dan niat lurus. Karena Muhammadiyah terlalu mulia untuk dijadikan alat. Ia adalah amanah. Dan amanah, harus ditunaikan dengan sepenuh jiwa.(*)
