Sejak kecil, ada satu nasihat yang terus terngiang dalam ingatan saya. Nasihat sederhana, namun penuh makna: “Jangan tidur lagi setelah salat Subuh, Nak.” Kalimat itu berasal dari ibu saya, seorang perempuan sederhana yang teguh memegang nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Di rumah kami, pagi selalu dimulai lebih awal dari matahari. Ibu adalah orang pertama yang bangun malam.
Biasanya dimulai dengan salat malam yang jarang sekali beliau tinggalkan. Suaranya yang lembut saat membaca Al-Qur’an menjelang Subuh menjadi musik pengantar tidur yang menenangkan.
Namun, begitu azan Subuh berkumandang, suasana rumah berubah. Suara merdu ibu bangkit dari keheningan malam, menyusup ke telinga kami yang masih terbuai kantuk.
Kami dibangunkan dengan penuh kesabaran. Kadang dengan usapan lembut di punggung, namun sering kali dengan cara khas ibu yang tak terlupakan: memegang telapak kaki kami yang masih hangat oleh tidur dengan tangan dinginnya. Sentuhan itu selalu berhasil membuat kami terkejut dan membuka mata.
Jika kami masih saja bergumul dengan kantuk, suara ibu perlahan berubah menjadi lebih tegas, namun tak pernah keras.
Ibu juga menganjurkan anak-anaknya untuk salat Subuh berjamaah di masjid. Lokasinya hanya beberapa meter dari rumah. Bukan hanya Subuh, tapi juga salat fardu lainnya: zuhur, asar, maghrib, dan isya.
Meski kami masih kecil, ibu selalu menanamkan bahwa salat berjamaah bukan sekadar kewajiban, tapi juga bentuk kedisiplinan dan kecintaan kepada Allah.
Anjuran itu bukan hanya ucapan, tapi benar-benar ditunjukkan melalui teladan. Ibu sering mengantar kami ke masjid, terutama saat Subuh. Di saat banyak orang masih terlelap, kami sudah berwudu.
Berjalan menembus dinginnya pagi bersama langkah-langkah kecil kami yang kadang masih malas. Tapi ibu tak pernah lelah mengingatkan. Ia percaya, anak-anak yang terbiasa salat berjamaah akan tumbuh dengan jiwa yang kokoh, rukun, dan tahu arah.
Ibu selalu mengaitkan pagi hari dengan keberkahan. Bagi beliau, waktu setelah subuh adalah waktu emas. Dia percaya, siapa yang memulai pagi dengan ilmu, maka Allah akan membukakan pintu-pintu hikmah dalam hidupnya.
Maka, setelah salat subuh, kami diajarkan untuk membuka mushaf. Tidak hanya sekadar membaca, tetapi juga meresapi.
Ibu pernah bilang, jika setelah subuh tidak digunakan untuk belajar, seseorang bisa menjadi fakir. Namun kefakiran yang dimaksud ibu bukanlah fakir harta, melainkan fakir ilmu.
Jika seseorang tidak berusaha menuntut ilmu, malas belajar, dan merasa cukup dengan pengetahuan yang sedikit, maka itulah kefakiran yang sejati.”
***
Seiring bertambahnya usia dan pemahaman, saya semakin menyadari bahwa nasihat ibu tentang waktu Subuh bukan sekadar kebiasaan keluarga, tetapi berakar kuat dalam ajaran Islam.
Dalam Al-Qur’an dan hadis, subuh adalah waktu yang sangat istimewa, penuh keberkahan, dan menjadi penentu kualitas hari seorang Muslim.
Allah berfirman dalam Surah Al-Isra ayat 78:
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelapnya malam, dan (dirikanlah pula) salat Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat).”
Ayat ini menggambarkan betapa agungnya salat Subuh, karena waktu itu disaksikan oleh para malaikat.
Bayangkan, saat kita bangun dari tidur, menyucikan diri, lalu bersujud kepada Allah di waktu Subuh, kita sedang diperhatikan dan dicatat oleh malaikat sebagai hamba yang taat.
Nabi Muhammad saw. pun mendoakan keberkahan bagi umatnya di waktu pagi. Beliau bersabda:
“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Doa Rasulullah ini menjadi dasar keyakinan bahwa pagi hari adalah saat terbaik untuk memulai segala kebaikan, termasuk belajar, bekerja, dan beribadah.
Maka tak heran jika ibu begitu menekankan pentingnya bangun Subuh, bahkan melarang kami tidur kembali setelahnya.
Di zaman Rasulullah, para sahabat juga sangat menjaga waktu Subuh. Mereka tidak hanya menunaikan salat Subuh berjamaah di masjid, tetapi juga menjadikannya sebagai momentum untuk memulai aktivitas: dari belajar Al-Qur’an, merencanakan strategi dakwah, hingga mengatur kebutuhan umat.
Pagi mereka adalah awal dari keberhasilan hari-hari besar dalam sejarah Islam.
Saya membayangkan, andai kita hidup di masa itu, mungkin kita akan melihat betapa masjid-masjid ramai saat subuh. Betapa penuh semangatnya para sahabat memanfaatkan pagi untuk hal-hal besar.
Mereka memahami bahwa keberhasilan besar dimulai dari kedisiplinan kecil, seperti bangun pagi dan tidak tidur setelah subuh.
Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:
“Seandainya mereka mengetahui pahala yang terdapat dalam salat Isya dan salat Subuh (secara berjamaah), niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.” (HR. Bukhari dan Muslim – Muttafaq ‘alaih)
Hadis ini dijelaskan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim sebagai isyarat akan betapa besar pahala dan kedudukan dua salat ini di sisi Allah, hingga orang yang beriman sejati pun akan bersedia bersusah payah, bahkan jika harus merangkak, demi melaksanakannya secara berjamaah.
Rasulullah saw tidak menyebutkan bentuk ganjarannya secara rinci, namun justru karena itulah para sahabat begitu semangat menjaga salat subuh dan isya di masjid. Mereka meyakini bahwa sesuatu yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya pasti lebih mulia dari apa pun yang bisa dibayangkan.
***
Saya terus berusaha menghayati pesan ibu, bahwa ajarannya bukan sekadar warisan budaya atau kebiasaan turun-temurun, melainkan pengamalan nyata dari sunnah Nabi dan nilai-nilai Qur’ani yang agung.
Subuh bukan sekadar waktu di pagi hari, melainkan titik awal kehidupan yang penuh makna dan kualitas. Di balik kebiasaan yang tampak sederhana itu, tersimpan keteguhan hati yang menanamkan nilai-nilai spiritual, intelektual, dan emosional yang mendalam.
Pagi-pagi itu bukan hanya soal tepat waktu bangun, melainkan pelajaran hidup yang kami bawa hingga kini: bahwa keberkahan lahir dari ketekunan, dari menghargai setiap detik waktu, dari mencintai ilmu yang hakiki, dan dari kedekatan batin dengan Kalamullah.
Setiap ayat yang kami baca selepas Subuh, walau hanya sebaris atau potongan terjemahan, menjadi lentera yang menuntun langkah kami sepanjang hari. Menjadi cahaya yang menerangi keputusan-keputusan penting dalam perjalanan hidup.
Dari kebiasaan itu kami belajar bahwa salat tak semata ritual pribadi, tapi juga menjadi ikatan ukhuwah yang kuat dan suci.
Kami dididik untuk disiplin waktu, mengenali panggilan azan sebagai suara suci yang menggetarkan jiwa, dan menundukkan diri bersama saudara seiman di rumah Allah.
Salat berjamaah di waktu Subuh membentuk karakter: rendah hati, tangguh bangkit, dan tabah menatap hari meski gelap menyelimuti dunia.
Di tengah derasnya arus kehidupan yang cepat dan gaduh, nasihat ibu semakin terasa relevan dan bermakna.
Dalam dunia yang mengejar gemerlap dan pencapaian besar, namun sering melupakan kedamaian jiwa, kebiasaan bangun Subuh dan larut dalam Kalamullah adalah tempat pulang yang paling menyejukkan. (*)
