Setiap 5 tahun, bangsa kita selalu bergemuruh dengan berbagai kegiatan politik. Periode lima tahunan itulah membuat kita harus dihadapkan pada berbagai pilihan politik, baik pemilihan walikota/bupati, gubernur, presiden, juga memilih anggota DPR dan DPD. Di situlah fitnah dan hoax selalu berpadu, dengan tujuan saling menjatuhkan dan merebut kekuasaan. Apakah politik sebatas itu?
Almarhum Miriam Budiardjo, salah seorang akademisi dan diplomat Indonesia dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, menyebutkan bahwa politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh pemerintah. Sementara Ramlan Surbakti, yang juga akademisi, menjelaskan bahwa politik adalah proses penentuan tujuan-tujuan bersama masyarakat melalui penggunaan kekuasaan.
Kedua pakar politik nasional ini merumuskan istilah politik dengan sangat santun, yakni kebijakan dan untuk masyarakat. Lantas, bagaimana dengan pakar politik luar? Lihat saja bagaimana Andrew Heywood mengartikan politik sebagai aktivitas yang bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Juga Max Weber menegaskan bahwa politik adalah usaha untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Mereka merumuskan politik sebagai upaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Menurut salah satu riwayat, Muhammad SAW yang kala itu masih cukup muda, 35 tahun, sudah dipercaya untuk membuat keputusan politik yang adil oleh suku Quraisy. Suku Quraisy memang memiliki beberapa kabilah, dan saat itu mereka saling berebut meletakkan batu hajar aswat di sudut Ka’bah. Bahkan rebutan itu memuncak sampai saling tantang dalam perang. Sampai akhirnya mereka menyerahkan keputusan pada Muhammad SAW yang dikenal jujur dan dapat dipercaya.
Saat itu Muhammad SAW menjalankan strategi politik yang sangat mumpuni. Beliau meletakkan selembar sorban, dan batu hajar aswad diletakkan di atas sorban tersebut. Kemudian para pemimpin kabilah memegang ujung sorban bersama-sama dan meletakkan batu hajar aswad juga bersama sama. Mereka merasa sangat adil, tidak ada yang ditinggikan dan tidak ada yang direndahkan. Tidak ada yang superior ataupun inferior.
Suatu keputusan politik yang terlihat sangat sederhana, tetapi mampu mencegah perang antar kabilah dalam suku Qurasy. Suatu kebijakan yang jauh dari perebutan kekuatan dan kekuasaan, bahkan sama sekali tidak menindas orang lain atau lawan politiknya.
Demikian pada masa kenabian, Nabi Muhammad SAW juga banyak melakukan aktivitas politik, terlebih saat terbentuknya masyarakat Muslim di Madinah. Dan sekali lagi, politik Nabi Muhammad SAW semata-mata untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kekuasaan pribadi. Bagaimana Piagam Madinah yang beliau rumuskan dan tanda tangani pasca hijrah (622 M), adalah perjanjian politik antar bangsa yang sangat mencerdaskan.
Beliau juga melakukan perjanjian Hudaibiyah dan gencatan senjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Ini benar-benar politik tingkat tinggi. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut, pemerintahan Islam di Madinah mendapatkan legitimasi dari kaum Quraisy.
Menjelang perang Uhud dan perang Khandaq, Nabi Muhammad SAW tidak serta merta membuat keputusan untuk berperang. Beliau beberapa hari mengundang para sahabat, sesepuh dan pemimpin pasukan untuk berdiskusi, bermusyawarah, dan mengambil keputusan. Jika masih terjadi saling debat, maka keputusan akhir adalah memilih suara terbanyak. Ini adalah konsep demokrasi yang sehat, yang menghargai pendapat orang lain, meski keputusan akhirnya ditentukan oleh suara terbanyak.
Dari sini kita bisa belajar, bahwa sebenarnya politik tidak pernah salah, tetapi bagaimana orang-orang yang menjalankan politik itulah yang menentukan politik baik atau buruk. Bagaimana mereka bisa menjalankan politik yang baik, yang santun, jika dalam diri politikus hanya berpikir mencari dan mempertahankan kekuatan dan kekuasaan. Mereka cenderung melakukan segala cara, menabrak aturan, dan menindas masyarakat yang notebene telah memilih mereka menjadi legislatif maupun eksekutif, demi mempertahankan kekuasaan.
Dalam satu kesempatan Malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad SAW dan memberikan nasihat, hiduplah sesukamu karena sesungguhnya engkau akan mati. Cintailah siapa pun yang engkau suka, karena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Lakukanlah perbuatan apa pun yang engkau suka karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan dengannya.
Jadi, kekuasaan politik tidak pernah langgeng, karena akan silih berganti. Bahkan cinta kekuasaan pun, tetap akan mengakhiri jabatan dan berpisah. Melakukan kebijakan baik dan buruk pada saat berkuasa, pasti akan diberi balasan atas perbuatan tersebut. Ingatlah, dunia hanya sementara, akhirat selamanya. (*)
