*)Oleh: Amir Hady
Sekretaris PWM Kalimantan Timur
“Kita Tidak Kurang Semangat, Kita Cuma Butuh Dimantapkan”. Sebuah narasi tentang tantangan dan harapan Dakwah Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM).
Kita ini bukan generasi yang lemah. Kita ini bukan anak muda yang nggak peduli. Kita tahu Muhammadiyah itu besar, keren, dan punya sejarah panjang. Tapi kadang, di balik semua itu, kita merasa masih “tanggung”. Rasanya seperti: “Aku cinta Muhammadiyah, tapi masih belum pede untuk benar-benar jadi penggeraknya.”
Dan itu bukan salah kita sepenuhnya. Kita cuma belum mantap dan mapan. Bukan tidak ngerti, tapi belum nyatu. Bukan nggak mau, tapi belum yakin sepenuhnya. Dan ini bukan hal yang harus bikin minder, karena hampir semua kita mengalaminya. Yang penting kita sadari, dan kita benahi sama-sama.
Kita Butuh Dikenalkan (Lagi) pada Muhammadiyah
Jujur aja, banyak dari kita kenal Muhammadiyah lewat acara, rapat, SK, baju batik, dan seremonial. Tapi yang bikin kita jatuh cinta bukan itu. Yang bikin kita merinding itu… waktu kita tahu kisahnya KH Ahmad Dahlan jual harta demi mengelola sekolah, atau K.H. Fakhruddin keliling nyari anak yatim untuk diberi tempat tinggal.
Kita akan benar-benar nyambung sama ideologi Muhammadiyah ketika kita mendengar dan menghayati kisah-kisah para pendahulu—bukan sekadar mendengarkan teori, tapi menyerap nilai hidup dari sejarah mereka.
Belajar Gagal Dulu, Baru Tahu Rasanya Berjuang
Kemapanan berpikir itu nggak bisa instan. Butuh proses. Dan proses itu bukan di ruang AC sambil dengerin ceramah. Tapi di lapangan—ikut urus sekolah Muhammadiyah yang nyaris tutup, bantu panti yang kekurangan dana, atau bahkan ngerintis AUM dari nol. Di situ kita ngerti arti kata berjuang.
Kita jadi tahu gimana rasanya menyusun proposal, ditolak, jatuh, bangkit lagi. Di situlah rasa memiliki tumbuh. Dari “sekadar ikut organisasi”, jadi “ini jalanku, ini misiku.”
Spiritualitas Itu Bisa Dilatih
Banyak yang berpikiran, spiritualitas itu datang seiring usia. Sebagian memang benar. Tapi bukan berarti anak muda harus nunggu tua dulu untuk merasa dekat dengan Allah SWT.
Kita bisa mulai dari yang sederhana: sholat tepat waktu dan berjamaah di masjid atau musholla, belajar memahami makna Al-Qur’an, ikut pengajian, ikut aksi sosial, aksi bantu kebencanaan. Lama-lama, rasa itu muncul: bahwa dakwah bukan beban, tapi jalan pulang ke Allah.
Percaya Diri Itu Datangnya dari Rasa Paham
Kadang kita minder saat disuruh berbicara tentang Muhammadiyah. Atau waktu berhadapan dengan aktivis luar yang kelihatannya lebih vokal. Tapi sebetulnya, kita cuma belum cukup bekal pemahaman dan belum cukup pengalaman. Begitu kita paham bahwa Muhammadiyah itu bukan cuma organisasi, tapi gerakan ideologis yang cerdas, jernih, dan teruji—rasa percaya diri itu tumbuh sendiri.
Kita tidak perlu keras-keras teriak. Kita cuma perlu tampil dengan tenang, yakin, dan siap berdampak. Karena yang mapan secara ideologi, tidak gampang goyah oleh tren.
Muhammadiyah Harus Lebih Percaya pada Anak Muda
Tapi tentu ini bukan tugas kita doang. Muhammadiyah—sebagai organisasi induk—juga harus lebih percaya. Bukan cuma memberi panggung saat acara besar, tapi benar-benar membimbing, mendampingi, bahkan melepas AMM untuk bergerak sendiri. Dan kadang, membiarkan kita jatuh… agar kita tahu bagaimana cara bangkit dan bangun lagi.
Muhammadiyah bukan organisasi yang memanjakan kadernya, tapi juga jangan terlalu pelit memberi ruang bagi angkatan muda yang ingin belajar. Karena kita tidak mencari kader sempurna, tapi yang siap tumbuh dan berkembang.
Kita Hanya Butuh Disentuh, Bukan Diceramahi
Kita bukan generasi yang anti dakwah. Kita hanya lelah dengan pendekatan yang terlalu kaku. Kita ingin dekat dengan Muhammadiyah bukan karena disuruh, tapi karena merasa ini jalan hidup kita.
Jadi kalau kamu sekarang masih merasa belum mantap, masih ragu-ragu di pinggir lapangan dakwah, jangan takut. Kamu tidak sendirian.
Yang penting, kamu terus bergerak. Terus belajar. Terus mendekat. Karena pada akhirnya, bukan soal siapa yang paling duluan paham, tapi siapa yang paling setia memperjuangkan apa yang diyakini.
Ayo, jadikan dirimu bagian dari gelombang pejuang berikutnya. Bukan saja melanjutkan yang dulu, tapi juga membesarkan yang akan datang. (*)
