Dingin yang menusuk di Kota Batu, Sabtu (25/10/2025), tak menyurutkan semangat para peserta Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II Majelis Tabligh Muhammadiyah.
Sejak subuh buta, mereka berombong menuju Masjid Jamiatul Muhlisi Kusuma Agro. Hujan semalaman seakan menjadi iringan doa bagi para dai yang tengah menunaikan salat Subuh berjamaah sebelum melanjutkan agenda utama, pengajian Kultum.
Pagi itu, KH. Abdul Basith, Lc., M.Pd.I. tampil sebagai penceramah dengan tema yang menggugah, “Prioritas Pendekatan Fikih Sosial dalam Berdakwah.”
Dengan nada tegas dan tenang, ia membuka pemaparannya,
“Berdakwah menggunakan pendekatan fikih sosial adalah metode dakwah Rasulullah SAW. Banyak praktik Rasulullah yang bisa kita baca dan teladani.”
Fikih Sosial, Metode Dakwah Humanis Rasulullah
KH. Basith kemudian mengutip kisah klasik Rasulullah SAW tentang larangan duduk di pinggir jalan.
إياكم والجلوسَ على الطُّرُقَاتِ
“Hindarilah duduk-duduk di jalan.”
Ketika para sahabat mengungkapkan bahwa mereka membutuhkan tempat duduk di jalan untuk berdiskusi urusan sosial, Rasulullah tidak serta-merta menolak. Beliau justru menyesuaikan pendekatan sosialnya.
فَأَمَّا إِذَا أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ
“Jika kalian enggan meninggalkannya, maka berikan hak-hak jalan.”
Beliau menjelaskan hak-hak itu, seperti menjaga pandangan, tidak mengganggu, membalas salam, serta amar makruf nahi mungkar.
Menurut Basith, dialog ini mencerminkan kepekaan sosial Rasulullah dalam berdakwah, menyesuaikan pesan agama dengan kebutuhan masyarakat tanpa kehilangan esensi syariat.
“Itulah fikih sosial. Rasulullah mendahulukan maslahat sosial sebelum perdebatan furu’iyah,” ujarnya.
Keteladanan KH. AR. Fakhruddin dalam Berdakwah
KH. Basith lalu menuturkan kisah inspiratif KH. AR. Fakhruddin, tokoh Muhammadiyah yang dikenal dengan kebijaksanaannya.
Suatu ketika, beliau diundang oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke Jombang untuk menjadi imam tarawih di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Sebelum memulai, Pak AR dengan santun bertanya,
“Kita tarawih 11 rakaat seperti Muhammadiyah, atau 23 rakaat seperti kebiasaan NU?”
Jemaah menjawab serempak, “23 rakaat, Kyai.”
Pak AR tersenyum dan mengimami dengan bacaan panjang dan tartil sebagaimana kebiasaannya. Namun, setelah 8 rakaat, ia kembali bertanya,
“Gimana, lanjut 23 atau witir sekarang?”
Jemaah pun menjawab, “Langsung witir saja, Kyai.”
Kisah itu dikenang Gus Dur dengan kalimat penuh makna,
“Pak AR sukses menjadikan warga NU menjadi Muhammadiyah dalam waktu semalam.”
Menurut Basith, peristiwa itu adalah dakwah yang mengena tanpa menyakiti. Dakwah yang mendahulukan fikih sosial daripada fikih furu’.
Dakwah di Era Gen Z
KH. Basith kemudian menyinggung fenomena anak muda masa kini yang gemar nongkrong di kafe. Dalam konteks dakwah modern, katanya, sikap melarang atau menutup kafe bukanlah solusi.
“Yang perlu kita desain adalah bagaimana anak-anak yang nongkrong di kafe bisa mengimplementasikan nilai-nilai keislaman di sana,” jelasnya.
Ia menegaskan, fikih sosial menuntut kreativitas dan kesabaran. Dakwah bukan soal hasil instan, melainkan proses yang panjang dan penuh empati.
Belajar dari Dakwah di Pedalaman
KH. Basith menutup kultumnya dengan pengalaman pribadi saat mendampingi para dai di pedalaman Kalimantan. Para dai di sana diamanahi untuk mendatangi kepala suku setiap hari, meski bertahun-tahun kepala suku itu belum juga memeluk Islam.
Namun yang luar biasa, sang kepala suku selalu melindungi para dai dari gangguan penduduk setempat.
“Masalahnya, mayoritas kita tidak bersabar dalam proses berdakwah. Inginnya hari ini berdakwah, hasilnya juga harus terlihat hari ini,” ujarnya, disambut tawa para peserta.
