Dakwah, Pahit di Depan, Manis di Belakang

www.majelistabligh.id -

*)Oleh: Bukhori at-Tunisi
Alumni Ponpes Ar-Roudlotul Ilmiyah Kertosono

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ

Kalau kita baca ayat al-Qur’an yang menyeru untuk mengajak ke Jalan Tuhan, bukan jalan setan, dengan cara yang bijak, terbayang di benak kita, sesuatu yang mudah untuk diterawang, mudah dikonsepkan, mudah dijalankan, padahal tidak. Kalau kita memakai pendekatan konsep “mafhum mukhalafah” (pengertian kebalikan) dalam ilmu Ushul Fiqih, justru adanya “nash” tersebut menunjukkan adanya “ketidak bijakan” dalam mengajak ke Jalan Tuhan, ada mauidlah yang buruk, dan ada mujadalah yang kurang baik.

Meskipun bukan sesuatu yang iltizam bahwa mafhum mukhalafah pasti ada dan terjadi, maka nash itu menunjuk pada jalan yang jika ingin mengajak kepada jalan kebenaran, maka itu salah satu di antara jalan itu.

Banyak para filosuf, pujangga, orang bijak, terkadang harus menyendiri untuk menemukan jalan kebenaran. Sidharta Gautama meninggalkan “samsara” duniawi, lalu bersemedi di pohon Budhis. Nabi Muhammad berkhalwat di Gua Hira’, para sufi menyendiri di tempat sepi.

Para pejuang kebenaran kadang harus berjuang sendiri membela kebenaran, bahkan harus rela minum racun kaya Socrates, masuk kuali panas kayak Masithah, dipenjara kayak Ibn Taimiyah, Galileo, Diponegoro, dan lainnya. Jalannya terjal, tidak mudah, dan mendaki. Sering dicaci-maki, dipersekusi, bahkan dieksekusi.

Mengajak kepada kebenaran, kadang minim respon, ditolak, dimusuhi, dilempari, bahkan diperangi. Kurang apa baiknya nabi Muhammad, pribadi yang memperoleh gelar “al-Amin” dari kaumnya, masih dicaci kayak orang majnun, dituduh terkena sihir karena dianggap gak waras, karena dari mulutnya keluar kata-kata “ajaib” yang tak mampu mereka samai. Bahkan suatu waktu dilempari batu, hingga berdarah-darah, dikejar-kejar hingga mau dihabisi, tak mampu sendirian, diperangi secara ramai-ramai.

Ghirahnya begitu besar untuk menyelamatkan ummat manusia, mengajak siapa pun tanpa henti, hingga Allah melarang untuk merengek-rengek agar yang diajak mau menerima dan mengimani apa yang dijarkannya, kata Allah, “Laisa alaika huda hum wa lakinn ‘llaha yahdi man yasya’

ليس عليك هدىهم ولكن الله يهدي من يشاء

(Bukan kewajibanmu untuk menjadikan mereka memperoleh petunjuk,

namun Allahlah yang akan memberikan petunjuk kepada orang yang menghendakinya).

(al-Baqarah/2: 272)

Dalam urusan apa pun ada perintah untuk mengatakan yang benar (QS. Al-Nisa’/4:) dengan cara yang ma’ruf (QS. Al-Nisa’/4:), perkataan yang dikenal banyak orang (QS. Al-A’raf/7: 199), bukan istilah yang asing di telinga dan pemikiran mereka (‘ajam) (QS. Fushilat/: 44 ), yang baik dan tidak menyakitkan perasaan (QS. Al-Baqarah/2: 263), wajahnya berseri-seri dan tidak bermuka masam (QS. ‘Abasa/: 1-12), menggembirakan dan tidak menakutkan (Basysyiru wa la tunaffiru), dan segala bentuk kebaikan lainnya (QS. Fushilat/41: 34). Begitu sempurna “arahan” Allah kepada para Nabi dan pewarisnya (ulama’).

Nabi dilarang jadi pemarah, emosional, keras kepala, masyarakat akan lari. Oleh sebab itu didawuhkan oleh Allah untuk menjadi pemaaf, membacakan istighfar untuk ummatnya, dan bila ada suatu persoalan, rembukan sama mereka (QS. Ali Imran/3: 159).

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

(Karena rahmat Allah, engkau menjadi lemah lembut terhadap mereka. Andai engkau bersikap keras dan keras hati, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal).

Nabi pernah melakukan Qunut Nazilah, karena orang-orang yang memusuhi Nabi sudah keterlaluan permusuhannya kepada kaum muslimin. Namun setelah itu, Nabi disuruh berhenti untuk melakukan Qunut Nazilah, karena urusan iman, petunjuk, keislaman seseorang adalah urusan Allah. Kata Allah:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْاَمْرِ شَيْءٌ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ اَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَاِنَّهُمْ ظٰلِمُوْنَ وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ يَغْفِرُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

(Bukan menjadi urusanmu, apakah Allah memberi taubat mereka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim. Dan milik Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, dan mengadzab siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Ali Imran/3: 128-129).

Nabi saja pernah “ditegur” Allah, apalagi manusia biasa yang bukan nabi dan juga bukan rasul, tentu maqamnya lebih adna daripada nabi Muhammad. Artinya lebih banyak khilaf, salah, dan permasalahan lainnya. Oleh sebab itu, andaikata berdakwah itu mudah, maka tidak akan ada konsep amar ma’ruf nahi munkar, memakai motodologi, pemetaan wilayah, tingkatan pengetahuan, tahapan, gradasi, pendampingan, dst.

Nyatanya, tidak setiap yang rasional menurut akal, otomatis diterima oleh orang mampu berfikir; tidak setiap yang menyentuh hati, otomatis diterima oleh yang memiliki hati; bahkan dakwah kebaikan dan kebenaran, sering ditolak orang.

 

Tinggalkan Balasan

Search