Sebagai seorang muslim, kita memahami bahwa tujuan hidup adalah memperbanyak amal ibadah dan meningkatkan kualitasnya. Namun, sering kali manusia hanya terfokus pada ibadah yang tampak secara fisik semata, seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah wajib lainnya.
Begitu pula dengan ibadah sunnah yang sangat dianjurkan, misalnya shalat malam, yang memang memiliki keutamaan besar sebagaimana termaktub dalam surat Al-Isrā’.
Dalam limit usia yang sangat terbatas, sudah semestinya kita mempersiapkan bekal menuju akhirat sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, terdapat sebuah kisah yang unik dari riwayat hadis. Diceritakan bahwa ada seorang sahabat yang ibadahnya tampak biasa saja, namun Rasulullah ﷺ menjaminnya sebagai penghuni surga. Hal ini membuat salah seorang sahabat lain penasaran hingga mencari tahu rahasia di baliknya.
Hadis tersebut berbunyi:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ تَنْطَفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ قَدْ عَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الْيُسْرَى.
فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ مِثْلَ ذَلِكَ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الأُولَى.
فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ حَالِهِ الأُولَى.
فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ ﷺ تَبِعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، فَقَالَ: إِنِّي لاَحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لاَ أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلاَثًا، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ ثَلاَثٌ فَعَلْتَ.
قَالَ: نَعَمْ.
قَالَ أَنَسٌ: فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ عِنْدَهُ ثَلاَثَ لَيَالٍ فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ حَتَّى يَقُومَ لِصَلاَةِ الْفَجْرِ.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلاَّ خَيْرًا.
فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلاَثُ وَكِدْتُ أَحْقِرُ عَمَلَهُ قُلْتُ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلاَ هَجْرٌ، وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ: يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلاَثَ مَرَّاتٍ، فَأَرَدْتُ أَنْ آلِيَ إِلَيْكَ لأَنْظُرَ عَمَلَكَ فَأَقْتَدِيَ بِهِ، فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَبِيرَ عَمَلٍ، فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ؟
قَالَ: مَا هُوَ إِلاَّ مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لاَ أَجِدُ فِي نَفْسِي غِشًّا لأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَلاَ أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لاَ نُطِيقُ.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Kami pernah duduk bersama Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda:
‘Sebentar lagi akan muncul di hadapan kalian seorang laki-laki dari penghuni surga.’
Maka muncullah seorang laki-laki dari kalangan Anshar, janggutnya masih basah karena wudhu, dan ia memegang kedua sandalnya di tangan kirinya.
Keesokan harinya, Nabi ﷺ kembali bersabda seperti itu, lalu muncullah orang yang sama sebagaimana pertama kali.
Pada hari ketiga, Nabi ﷺ mengulangi sabdanya lagi, dan muncullah orang yang sama dalam keadaan sebagaimana sebelumnya.
Ketika Nabi ﷺ berdiri (pulang), Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash mengikuti laki-laki itu. Ia berkata kepadanya:
‘Sesungguhnya aku telah berselisih dengan ayahku, dan aku bersumpah tidak akan menemuinya selama tiga hari. Jika engkau berkenan menampungku sampai tiga hari itu berlalu, aku akan tinggal bersamamu.’
Orang itu menjawab: ‘Ya.’
Anas berkata: Abdullah pun bercerita bahwa ia bermalam bersamanya selama tiga malam. Namun ia tidak melihat orang itu bangun malam untuk shalat. Hanya saja, apabila ia terjaga dan berbalik di atas tempat tidurnya, ia berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk shalat Subuh.
Abdullah berkata: ‘Selain itu, aku tidak pernah mendengar dia berkata kecuali yang baik-baik saja.’
Setelah tiga malam berlalu, Abdullah hampir meremehkan amalnya (karena merasa biasa saja), maka ia berkata kepadanya:
‘Wahai Abdullah, sebenarnya tidak ada masalah antara aku dan ayahku, tidak ada pula permusuhan. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda tiga kali: Sebentar lagi akan muncul seorang laki-laki dari penghuni surga, lalu engkau yang muncul tiga kali itu. Maka aku ingin tinggal bersamamu untuk mengetahui amalmu agar aku bisa menirunya. Namun aku tidak melihatmu melakukan amalan besar. Lalu apakah yang membuatmu mencapai kedudukan seperti yang dikatakan Rasulullah ﷺ?’
Orang itu menjawab:
‘Tidak ada amalan lain kecuali yang engkau lihat. Hanya saja, aku tidak pernah menyimpan kedengkian (ghisy) terhadap seorang muslim pun, dan aku tidak iri hati terhadap nikmat yang Allah berikan kepada siapa pun.’
Abdullah berkata:
‘Inilah yang membuatmu mencapai derajat itu. Dan inilah yang sulit (untuk kami lakukan).’”
(HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 12697, sanadnya hasan; juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dan al-Hakim mensahihkannya).
عَبْدُ اللَّهِ: هَذِهKisah ini memberikan pelajaran yang sangat berharga:
- Ibadah lahiriah (mahdhah) seperti shalat, puasa, zakat, haji, tetap harus dijaga karena ia adalah tiang agama.
- Namun, ada dimensi lain yang sering dilupakan, yaitu ibadah hati: menjaga diri dari hasad (iri) dan dengki, serta membersihkan hati dari kebencian kepada sesama muslim.
- Sahabat Anshar ini tidak dikenal dengan ibadah fisik yang menonjol, tetapi Rasulullah ﷺ menjaminnya masuk surga karena kesucian hatinya.
- Inilah pesan penting: amal sederhana bisa menjadi besar di sisi Allah jika hati bersih, sebaliknya ibadah sebanyak apa pun bisa terhapus bila hati dipenuhi penyakit hasad.
Betapa mulia kedudukan sahabat Anshar tersebut. Kebersihan hatinya dari sifat dengki dan iri menjadikannya ahli surga, meski amalan lahiriah tampak biasa saja. Sebaliknya, bagi orang yang hatinya dipenuhi hasad, sebanyak apa pun ibadah yang dilakukan bisa saja tidak bernilai di sisi Allah sebagaimana hadist :
إيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Jauhilah oleh kalian sifat hasad, karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
- Abu Dawud (4903), Ahmad (27638), Ibnu Majah (4210). Syaikh al-Albani mensahihkannya dalam Shahih al-Jami‘ (2678).
Maka, selain memperbanyak amal ibadah lahiriah, mari kita senantiasa berusaha membersihkan hati, menjaga niat, serta menumbuhkan cinta, doa, dan persaudaraan kepada sesama muslim.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
