Ihsan: Puncak Kebaikan dan Berbuah Kemuliaan

Ihsan: Puncak Kebaikan dan Berbuah Kemuliaan
*) Oleh : Dr. Slamet Muliono Redjosari
Wakil Ketua Majelis Tabligh PWM Jatim
www.majelistabligh.id -

Ihsan merupakan puncak perbuatan baik seorang hamba. Dikatakan puncak perbuatan baik, karena saat melakukan perbuatan itu, seorang hamba merasa diawasi Allah. Ketika merasa diawasi Allah, maka perbuatannya ikhlas. Keikhlasan merupakan perbuatan yang akan diterima Allah, dan karenanya dia makhluk yang paling berbahagia. Dikatakan berbahagia karena akan mendapat balasan terbaik.

Nabi Yusuf merupakan salah satu contoh hamba Allah yang berbuat ihsan. Atas perbuatannya itu, maka Allah mengangkat derajatnya. Kedudukannya yang tinggi di Mesir merupakan buah ihsan setelah menjalani penderitaan panjang. Musibah demi musibah dijalani dengan sabar. Buah atas kesabaran itulah yang membuat Namanya agung.

Hakekat Ihsan

Muslim, mukmin, dan Ihsan merupakan tingkatan bagi seorang hamba dalam menjalankan perintah Allah. Ihsan merupakan derajat tertinggi dimana seorang hamba menjalankan perintah karena merasa diawasi Allah. ketika merasa terawasi itulah, maka terbentuk keikhlasan. Keikhlasan itu didorong oleh spirit ketuhanan, bukan karena motif duniawi.

Seluruh nabi dan rasul telah tertanam dalam dirinya untuk berbuat ihsan. Oleh karenanya, pantas apabila mereka memiliki kedudukan tinggi di dunia maupun di akherat. Nabi Yusuf bisa dijadikan sebagai contoh hamba yang berbuat ihsan. Dia pun berkedudukan tinggi di dunia. Dia pun berhasil dikukuhkan sebagai pejabat paling agung di Mesir. Perbuatan agungnya telah menyejarah dan diakui oleh hampir seluruh rakyat Mesir.

Kematangan pribadi merupakan karunia Allah sehingga senantiasa menjaga keikhlasan dalam setiap berbuat kebaikan. Kesabaran dalam menjalani kehidupan pahit membuatnya matang. Allah pun menganugerahkan hikmah dan ilmu. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥٓ ءَاتَيۡنَٰهُ حُكۡمٗا وَعِلۡمٗا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Artinya:

Dan tatkala dia cukup dewasa  , Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah, Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Yūsuf : 22)

Ketika menelisik sejarah, Nabi Yusuf pernah mengalami cobaan yang amat berat. Disia-siakan saudaranya, dan membuangnya ke sumur. Kemudian dijual untuk dijadikan budak. Ketika sudah dewasa, menghadapi cobaan untuk diajak tuannya berzina. Puncak cobaannya, ketika dimasukkan ke dalam penjara, tanpa tahu kesalahannya. Semua itu beliau jalani dengan sabar dan ikhlas. Dia yakin Allah akan memberi tempat terbaik ketika menjalani hidup dengan takwa dan sabar. Allah mengabadikan hal itu sebagaimana firman-Nya :

قَالَ رَبِّ ٱلسِّجۡنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدۡعُونَنِيٓ إِلَيۡهِ ۖ وَإِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّي كَيۡدَهُنَّ أَصۡبُ إِلَيۡهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ

Artinya:

Yūsuf berkata, “Wahai Tuhan-ku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh”. (QS. Yūsuf : 33)

Nabi Yusuf memilih penjara untuk menyelamatkan agamanya. Ajakan berzina jelas sangat membahayakan dirinya, dan dia menyadari bahwa Allah akan menghancurkan dirinya di dunia dan akan menyiksanya di akherat.

Puncak Kesabaran

Nabi Yusuf merupakan sosok teladan yang menjalani pahit getirnya kehidupan. Betapa tidak, sejak kecil dia sudah berpisah Nabi Ya’kub, orang tua yang sangat mencintainya. Saudaranya dihinggapi rasa hasad sehingga membuangnya. Hidup sebagai budak, dan hidup di tengah gemerlap dunia yang mengantarkan dirinya untuk diajak berbuat zina.

Lolos dari ajakan berzina, dia tinggal di penjara dengan berbagai keterbatasannya. Semua dijalani dengan sikap terbaik. Kesadaran bahwa perbuatannya diawasi Allah, maka dia rela menutup aib majikannya sehingga dia rela dipenjara. Ketika di penjara pun masih dijalani dengan berbuat baik, hingga dia bebas dari penjara. Bebas dari penjara menghantarkannya menjadi orang yang berkedudukan tinggi dan tinggal di lingkungan Kerajaan.

Semua perbuatannya didasarkan oleh keyakinan bahwa Allah mengawasinya dan akhir yang baik pasti didapatkannya. Merasa diawasi Allah itulah yang menjadikan dirinya bertaqwa dan bersabar. Hal inilah yang mengantarkan dirinya mendapat karunia terbesar, yakni diangkat menjadi penguasa yang adil. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

قَالُوٓاْ أَءِنَّكَ لَأَنتَ يُوسُفُ ۖ قَالَ أَنَا۠ يُوسُفُ وَهَٰذَآ أَخِي ۖ قَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَيۡنَآ ۖ إِنَّهُۥ مَن يَتَّقِ وَيَصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Artinya:

Mereka berkata, “Apakah kamu ini benar-benar Yūsuf?” Yūsuf menjawab, “Akulah Yūsuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami”. Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik” (QS. Yūsuf : 90)

Nabi Yusuf menegaskan bahwa dirinya bisa terselamatkan dari berbagai musibah hingga mendapatkan kedudukan tinggi disebabkan oleh karunia Allah. Karunia terbesar itu diperoleh dengan menjalankan amal perbuatan dilandasi oleh ketaqwaan dan kesabaran. Duduk sebagai raja membuat dirinya mudah untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarganya.

Bertemu, berkumpul dengan keluarganya di tempat yang megah, dengan berbagai fasilitas, merupakan karunia besar. Rasa hasad dan dengki telah dihilangkan sehingga kehidupan keluarganya semakin sakinah. Terlebih lagi bisa bertemu dengan orang tuanya yang selama ini merindukan pertemuan dengan anak tercintanya.

Karunia besar itu merupakan buah atas perbuatan ihsan, dimana menghadirkan Allah di setiap momentum. Hal ini membuat dirinya merasa terawasi dan terjaga, sehingga membuat dirinya berbuat terbaik. Allah tidak akan menyia-nyiakan perbuatan hamba-Nya, dan akan membalasnya dengan balasan terbaik.

Surabaya, 5 September 2025

Tinggalkan Balasan

Search