Iman Adalah Mutiara: Refleksi dari Nasyid dan Kitab Qiṣṣatul Īmān

Iman Adalah Mutiara: Refleksi dari Nasyid dan Kitab Qiṣṣatul Īmān
*) Oleh : Moh. Mas’al, S.HI, M.Ag
Kepsek SMP Al Fatah Sidoarjo & Anggota MTT PDM Sidoarjo
www.majelistabligh.id -

Iman adalah mutiara dalam hati manusia. Begitulah sepenggal pesan dari nasyid Iman Mutiara yang dipopulerkan oleh Raihan. Syair ini menyadarkan kita bahwa iman bukanlah sesuatu yang diwariskan secara otomatis dari orang tua kepada anak, bukan pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ia adalah cahaya yang dianugerahkan Allah kepada hati manusia, yang harus dipelihara dengan keyakinan, amal, dan ketakwaan.

Lirik nasyid tersebut menyampaikan pesan sederhana namun dalam: “Iman tak dapat diwarisi dari seorang ayah yang bertakwa, ia tak dapat dijual beli, ia tiada di tepian pantai.” Kalimat ini sejalan dengan firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلتَنظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. al-Ḥasyr [59]: 18)

Pesan Qur’ani ini menegaskan bahwa iman menuntut kesadaran pribadi, bukan sekadar keturunan atau warisan keluarga.

Jejak Iman dalam Qiṣṣatul Īmān

Pesan nasyid ini menemukan resonansinya dalam kitab Qiṣṣatul Īmān karya Syaikh Nadīm al-Jisr. Kitab tersebut menekankan bahwa iman adalah perjalanan intelektual dan spiritual yang harus ditempuh oleh setiap manusia.

Dalam kisahnya, al-Jisr memperkenalkan tokoh seorang pemuda bernama īrān ibn al-Aḍ‘af. Ia digambarkan sebagai mahasiswa dari Peshawar yang hatinya diliputi keraguan, lalu berkelana mencari jawaban tentang hakikat iman dan kebenaran. Dialognya dengan seorang ulama bijak di Khartank, dekat Samarkand, menjadi medium untuk menguraikan hakikat iman dari perspektif filsafat, ilmu pengetahuan, dan wahyu. Nadīm al-Jisr menulis:

الإيمان لا يُؤخَذُ تقليداً أعمى، بل هو ثمرةُ نظرٍ صحيحٍ وهدايةٍ ربانية.

Iman tidak boleh diambil dengan taklid buta, tetapi ia adalah buah dari pemikiran yang lurus dan hidayah Ilahi.” (Qiṣṣatul Īmān, hlm. 45)

Dengan demikian, iman tidak bisa diwariskan begitu saja meski lahir dari keluarga saleh, sebagaimana syair Raihan nyanyikan. Iman harus dicari, diuji, dan ditumbuhkan melalui pemahaman yang benar serta pengalaman hidup yang membimbing seseorang kembali kepada Allah.

Iman sebagai Perjalanan Pribadi

Kedua sumber ini – nasyid Iman Mutiara dan Qiṣṣatul Īmān – menekankan satu hal penting: iman adalah perjalanan pribadi. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan langkah kita di hadapan Allah. Bahkan, anak seorang nabi pun bisa tersesat jika menolak iman, sebagaimana putra Nabi Nuh عليه السلام.

Nasyid tersebut menegaskan: “Walau apapun caranya jua, engkau mendaki gunung yang tinggi, engkau merentas lautan api, namun tak dapat jua dimiliki jika tidak kembali pada Allah.” Kalimat ini paralel dengan pesan Nadīm al-Jisr melalui tokoh īrān ibn al-Aḍ‘af, bahwa iman adalah cahaya Allah yang ditanamkan dalam hati hamba-Nya, dan hanya dapat diraih bila manusia kembali dengan kerendahan hati serta penyerahan diri kepada-Nya.

Mutiara yang Harus Dijaga

Iman adalah mutiara yang paling berharga. Ia tidak akan ditemukan di pasar duniawi, tidak pula diwarisi dari garis keturunan. Ia adalah cahaya yang mesti dicari, diselami, dan dijaga.

Melalui syair sederhana Raihan, kita diajak untuk kembali menghayati makna iman sebagai sumber kekuatan spiritual. Melalui kisah filsafat Nadīm al-Jisr tentang īrān ibn al-Aḍ‘af, kita diingatkan bahwa iman adalah hasil perenungan, penghayatan, dan hidayah Allah.

Maka, iman bukan sekadar kata di lisan, melainkan cahaya yang membimbing langkah, menjaga hati, dan mengantarkan manusia menuju kebahagiaan abadi di sisi Allah. (*)

Referensi:

  • Nadīm al-Jisr. Qiṣṣatul Īmān: Baḥṡun Falsafī ‘Ilmī fī al-Qur’ān al-Karīm. Beirut: Dār al-Kitāb al-Lubnānī.
  • Al-Qur’an al-Karīm, Surah al-Ḥasyr [59]: 18.
  • Raihan. Iman Mutiara (Nasyid).

Tinggalkan Balasan

Search