Kepemimpinan Sebagai Amanah Politik

*) Oleh : Dr. Slamet Muliono Redjosari
Wakil Ketua Majelis Tabligh PW Muhammadiyah Jatim
www.majelistabligh.id -

Kepemimpinan politik merupakan bentuk amanah yang diberikan Allah kepada manusia untuk menegakkan keadilan, menebarkan kemaslahatan, dan menjaga keseimbangan kehidupan sosial. Dalam konteks politik, kepemimpinan tidak hanya bermakna kekuasaan administratif, melainkan juga tanggung jawab moral dan spiritual untuk mengelola kekuasaan dengan prinsip tauhid, dimana seluruh otoritas sejatinya berasal dari Allah. Namun, sejarah menunjukkan bahwa amanah ini sering diselewengkan. Ada pemimpin yang menutup masa kekuasaannya dengan kemuliaan dan dikenang karena kebaikan, tetapi tak sedikit pula yang meninggalkan jejak kelam, dikenang karena pengkhianatan terhadap amanah yang diemban.

Sulaiman Kepemimpinan Agung

Kepemimpinan dikatakan agung ketika menempatkan kekuasaan sebagai sarana pengabdian, bukan penguasaan. Penegakan keadilan, perjuangan hak-hak rakyat, dan tidak tunduk pada godaan harta serta kemegahan dunia melekat dalam dirinya. Bukan kepemimpinan yang tragis lahir ketika kekuasaan dijadikan alat untuk memperkaya diri, menindas yang lemah, dan menipu rakyat dengan simbol-simbol moralitas palsu. Dalam literatur Islam, dua model kepemimpinan ini menjadi cermin antara khilāfah ʿalā minhāj an-nubuwwah (kepemimpinan profetik) dan mulk jabariyyah (kepemimpinan tiranik).

Nabi Sulaiman merupakan representasi paling ideal dari pemimpin yang memahami kekuasaan sebagai amanah tauhid. Dia dikaruniai kekuatan politik, pengetahuan luas, dan kemampuan mengatur manusia, jin, serta alam. Namun seluruh karunia itu tidak membuatnya sombong. Dalam Al-Qur’an, Nabi Sulaiman digambarkan sebagai sosok yang selalu menisbatkan keberhasilan kepada Allah, bukan kepada kecakapannya sendiri. Ketika mendengar semut berbicara agar kaumnya berhati-hati agar tidak terinjak, Sulaiman tidak menertawakannya karena kuasa, tetapi tersenyum karena kelembutan hati dan rasa syukurnya. Bahkan dia berdoa sebagaimana direkam oleh Al-Qur’an sebagai berikut :

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكٗا مِّن قَوۡلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ وَأَدۡخِلۡنِي بِرَحۡمَتِكَ فِي عِبَادِكَ ٱلصَّٰلِحِينَ
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai.” (QS An-Naml : 19)

Doa itu menggambarkan paradigma kepemimpinan Islami, dimana kekuasaan merupakan sarana untuk bersyukur dan berbuat kebajikan, bukan kebanggaan diri sehingga melahirkan penghambaan manusia kepada dirinya. Tidak sedikit penguasa yang memiliki berbagai keutamaan dan keistimewaan justru membuat dirinya besar kepala, lupa diri hingga menuhankan diri dan manusia di sekelilingnya tunduk dan mematuhinya tanpa reserve.

Kekuasaan Sebagai Sarana Dakwah

Dalam episode lain, ketika salah satu pengikutnya yang memiliki ilmu membawa singgasana Ratu Balqis dalam sekejap mata, Sulaiman kembali menegaskan bahwa keberhasilan tersebut bukan kehebatan manusia, melainkan karunia Ilahi. Pernyataan Sulaiman ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِيٓ أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ
“Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).” (QS An-Naml : 40)

Pernyataan ini menggambarkan kesadaran spiritual yang tinggi bahwa setiap capaian politik adalah fitnah al-mulk, ujian kekuasaan. Pemimpin sejati tidak terjebak dalam glorifikasi diri, tetapi justru merasa diawasi dan diuji oleh Tuhan dalam setiap keputusan. Dalam konteks kontemporer, ini berarti pemimpin tidak boleh terbuai oleh pencapaian ekonomi atau elektoral, karena semua itu bisa menjadi sumber kejatuhan bila kehilangan kesadaran tauhid.

Sulaiman juga menunjukkan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk menegakkan kebenaran dan menyeru pada ketundukan kepada Allah. Ketika mengirim surat kepada Ratu Balqis, ia menulis:

أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ
“Janganlah kamu berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Naml : 31)

Pesan ini bukan ajakan untuk tunduk secara politik, melainkan seruan agar penguasa dan rakyat sama-sama menundukkan diri kepada kebenaran. Dalam bahasa modern, ia menyeru pada etika politik berbasis spiritualitas, di mana kekuasaan tunduk pada prinsip moral, bukan sebaliknya.

Dari kisah Nabi Sulaiman, tersirat pesan universal: kekuasaan yang tidak disandarkan pada nilai transendental akan kehilangan legitimasi moral. Banyak pemimpin modern terjebak pada rasionalitas kekuasaan, ketika menganggap kemenangan politik sebagai hasil strategi, bukan karunia. Akibatnya, muncul politik tanpa nurani berupa korupsi, manipulasi, dan kekerasan atas nama stabilitas.

Kepemimpinan sebagai amanah politik menuntut integrasi antara kemampuan manajerial dan kedalaman spiritual. Seorang pemimpin tidak cukup hanya cerdas dan visioner, tetapi juga harus memiliki taqwā politik, berupa kesadaran bahwa kekuasaan adalah alat untuk melayani manusia dan beribadah kepada Allah. Dalam perspektif Al-Qur’an, keberhasilan politik diukur bukan dari lamanya berkuasa, tetapi dari sejauh mana keadilan ditegakkan dan rakyat merasakan rahmat dari kepemimpinannya.

Sejarah menunjukkan bahwa ketika amanah politik diabaikan, kehancuran menjadi keniscayaan. Firaun kehilangan kekuasaan karena kesombongan, Qarun ditelan bumi karena keserakahan; sedangkan Nabi Sulaiman dikenang karena rendah hati dan keadilannya. Semua itu memperlihatkan bahwa politik tanpa iman adalah tirani, sementara iman tanpa tanggung jawab politik adalah kesalehan yang mandul.

Maka, setiap pemimpin harus meneladani doa Nabi Sulaiman, memohon ilham agar selalu bersyukur dan berbuat kebaikan. Kekuasaan adalah ladang ujian; siapa yang menunaikan amanahnya dengan jujur akan menuai kemuliaan, dan siapa yang mengkhianatinya akan menjadi catatan tragis dalam sejarah umat manusia.

Surabaya, 5 Nopember 2025

Tinggalkan Balasan

Search