Ketika Dai Menyesuaikan Selera Pasar

Ketika Dai Menyesuaikan Selera Pasar
*) Oleh : Angga Adi Prasetya, M.Pd
Guru SD Muhammadiyah 1 Malang dan Sekbid Dakwah PDPM Malang
www.majelistabligh.id -

Di tengah derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi, umat Islam menghadapi tantangan baru yang tak kalah serius dari masa-masa sebelumnya: kerusakan ilmu agama. Masalah umat semakin kompleks—dari degradasi moral, krisis spiritual, hingga kebingungan identitas keagamaan—namun anehnya, kajian agama justru diupayakan semakin ringan.

Kita hidup di zaman ketika orang lebih senang menonton video pendek daripada membaca buku atau mendengarkan ceramah panjang. Kajian mendalam dianggap membosankan, sementara konten dakwah yang ringan, penuh humor, dan berdurasi satu menit lebih disukai. Para dai pun seolah didorong untuk tampil sebagai entertainer, bukan penyampai kebenaran. Jika tidak mampu menghibur, maka dakwahnya sepi pendengar.

Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara umat memperlakukan ilmu agama. Dari sesuatu yang dahulu dimuliakan dan diperjuangkan dengan kesungguhan, kini menjadi komoditas hiburan yang harus “menyesuaikan selera pasar.”

Padahal, kita tidak pernah menuntut pelatih sepak bola untuk melatih sesuai keinginan muridnya. Mahasiswa pun tidak berhak mengatur kurikulum dosennya. Namun, dalam urusan agama, banyak orang merasa berhak memodifikasi ajarannya agar terlihat “relevan” dengan zaman. Seolah agama harus tunduk pada manusia, bukan manusia yang tunduk pada agama.

Allah ﷻ telah menegaskan dalam Al-Qur’an:
يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا كَلَامَ اللَّهِ ۖ قُلْ لَنْ تَتَّبِعُونَا
Mereka ingin mengubah kalimat Allah. Katakanlah: kamu sekali-kali tidak akan mengikuti kami.”*
(QS. Al-Fath: 15)

Ayat ini menjadi peringatan keras agar umat tidak mengganti atau menyelewengkan ajaran Allah hanya demi menyesuaikan diri dengan hawa nafsu dan selera zaman. Agama tidak pernah membutuhkan “rebranding”, yang dibutuhkan justru kesediaan manusia untuk kembali tunduk pada petunjuk Ilahi.

Pasar Bebas Agama dan Lahirnya “Guru Palsu”

Ketika ilmu agama dilempar ke “pasar bebas” media sosial, muncullah berbagai figur yang berbicara atas nama agama tanpa dasar ilmu yang kuat. Ada yang menyamakan semua agama, ada yang mengaku mendapat wahyu, bahkan ada yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan logika pribadi yang keliru.

Fenomena ini menunjukkan kaburnya batas antara kebenaran dan kesesatan di ruang digital. Setiap orang merasa berhak berbicara tentang agama tanpa tanggung jawab keilmuan. Tak sedikit pula masyarakat yang mudah percaya hanya karena terpesona gaya bicara atau jumlah pengikut sang “guru.”

Rasulullah ﷺ sudah memperingatkan bahaya ini dalam sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari manusia, tetapi mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa seorang alim pun, manusia menjadikan orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini dengan jelas menggambarkan situasi zaman kita. Ketika ulama sejati semakin sedikit, maka ruang dakwah diisi oleh orang-orang yang berani berbicara tanpa ilmu. Mereka menjadi rujukan umat, padahal ucapan mereka tidak bersandar pada Al-Qur’an dan sunnah.

Ilmu Agama yang Kehilangan Adab

Salah satu sebab utama kerusakan ilmu agama hari ini adalah hilangnya adab dalam menuntut dan menyampaikan ilmu. Di masa lalu, para ulama menempuh perjalanan jauh demi berguru kepada ahlinya, menjaga sopan santun, dan menghormati sanad keilmuan. Kini, banyak yang ingin menjadi ahli agama tanpa melewati proses panjang dan penuh perjuangan.

Imam al-Syafi‘i رحمه الله mengingatkan dengan tegas:

مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللَّهِ، أَبَاهُ اللَّهُ إِلَّا أَنْ يَتَعَلَّمَهُ لِلَّهِ
Barang siapa menuntut ilmu bukan karena Allah, maka Allah akan menolaknya, hingga ia belajar demi Allah.”

Ilmu agama bukan sekadar kumpulan informasi, tetapi cahaya yang menerangi hati. Karena itu, ia hanya akan bermanfaat jika dituntut dengan adab, kesungguhan, dan keikhlasan. Ketika ilmu dijadikan alat mencari ketenaran, ia kehilangan keberkahan.

Sayangnya, di era media sosial, ilmu sering dijadikan sarana mencari pengakuan dan popularitas. Ukuran keberhasilan dakwah bergeser dari kedalaman ilmu menjadi jumlah pengikut dan tayangan. Para dai muda berlomba tampil di layar, sementara banyak ulama sejati yang memilih diam karena tak mau terjebak dalam arus popularitas semu.

Matinya Kepakaran dan Krisis Otoritas

Inilah yang disebut oleh ulama klasik Ibn al-Jawzi رحمه الله sebagai tanda kehancuran zaman:
قَدْ يَكُونُ الْعَالِمُ غَيْرَ عَامِلٍ، وَالْعَامِلُ غَيْرَ عَالِمٍ، فَيَفْسُدُ الزَّمَانُ
“Kadang orang berilmu tidak beramal, dan orang beramal tidak berilmu — maka rusaklah zaman.”*

Ketika kepakaran mati, siapa pun merasa berhak berbicara. Ketika adab hilang, siapa pun merasa pantas menjadi guru. Akibatnya, kebenaran menjadi kabur dan umat kehilangan arah.

Kita sedang hidup di era matinya kepakaran — era ketika hiburan menggantikan ilmu, dan popularitas menenggelamkan kebenaran. Di masa seperti ini, umat membutuhkan keteguhan hati untuk kembali kepada sumber-sumber ilmu yang otentik: Al-Qur’an, Sunnah, dan warisan ulama muktabar.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa memahami agama dengan benar adalah bentuk karunia besar dari Allah. Karena itu, umat Islam wajib kembali menempatkan ilmu pada kedudukan yang mulia. Bukan menjadikannya hiburan digital, bukan pula sekadar bahan perdebatan di kolom komentar media sosial.

Ilmu harus kembali dituntut dengan niat yang lurus, cara yang benar, dan penghormatan kepada para ulama. Sebab, di tangan merekalah keaslian ajaran Islam terjaga.

Kerusakan ilmu agama bukan semata akibat teknologi atau media sosial. Akar masalahnya terletak pada cara umat memperlakukan ilmu itu sendiri: apakah sebagai jalan menuju Allah, atau sekadar alat untuk memenuhi ego dan kesenangan dunia.

Sudah saatnya kita kembali memuliakan ilmu agama sebagaimana mestinya — dengan kesungguhan, kerendahan hati, dan ketundukan kepada wahyu, bukan kepada algoritma. Karena kebangkitan umat tidak akan lahir dari viralitas dan popularitas, melainkan dari keikhlasan, kesabaran, dan kedalaman ilmu.

Seperti kata al-Hasan al-Bashri رحمه الله:

العِلْمُ عِلمانِ: عِلمٌ باللسان، فذاك حُجَّةُ اللهِ على ابنِ آدمَ، وعِلمٌ في القلبِ، فذاك النافعُ
Ilmu itu ada dua: ilmu di lisan, yang menjadi hujjah Allah atas manusia, dan ilmu di hati, itulah yang bermanfaat.”*

Dan hanya dengan ilmu yang bermanfaatlah, umat Islam dapat kembali menapaki jalan kemuliaan. (*)

Tinggalkan Balasan

Search