*Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Alumnus Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan Jatim
Islam adalah agama yang penuh dengan semangat literasi sejak awal kemunculannya. Sejarah mencatat bahwa wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah Muhammad SAW di Gua Hira’ adalah perintah untuk membaca, “Iqra”, yang berarti “bacalah”. Ini bukan hanya sekadar ajakan untuk membuka lembaran teks, tetapi sebuah seruan Ilahi Rabbi yang menunjukkan pentingnya pengetahuan, pemahaman, dan penyebaran ilmu.
Literasi—kemampuan membaca dan menulis—adalah fondasi dari berkembangnya peradaban Islam di seluruh dunia. Dan dengan kekuatan literasi inilah Islam menyebar dengan pesat ke berbagai penjuru dunia.
Pada abad ke-7 Masehi, Islam mulai menyebar dari Jazirah Arab ke berbagai wilayah dunia, termasuk Afrika Utara, Eropa Selatan, dan Asia Tengah. Salah satu alasan utama mengapa Islam begitu cepat diterima adalah karena agama ini tidak hanya membawa ajaran spiritual, tetapi juga pengetahuan dan semangat menuntut ilmu.
Banyak karya-karya ilmiah, filsafat, astronomi, matematika, dan seni yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa kejayaan Islam. Pada masa Bani Abbasiyah saat itu, perpustakaan dan pusat-pusat ilmu pengetahuan, seperti Baitul Hikmah di Baghdad. Pada masa khalifah Al-Makmun hal itu menjadi pusat literasi global.
Islam mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). Dengan semangat ini, literasi dalam Islam berkembang pesat dan menjadi salah satu faktor penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam. Umat Islam terdorong untuk belajar Al-Qur’an, memahami tafsirnya, serta mempelajari ilmu-ilmu lainnya yang mendukung kehidupan mereka di dunia dan akhirat.
Di banyak wilayah yang menerima ajaran Islam, di samping dorongan internal ajaran yang kuat akan pentingnya ilmu, kalangan Masyarakat setempat juga memiliki semangat yang sama. Maka, ketika sudah masuk dalam lingkatan keumatan Islam, mereka pun turut menyebarkan ilmu dengan menulis, menerjemahkan, dan mengajar.
Penulisan buku, catatan perjalanan, dan naskah ilmiah menjadi alat penting dalam menyebarkan Islam. Buku-buku karya ilmuwan Muslim yang terkenal, seperti Ibn Sina dalam bidang kedokteran dan Al-Khwarizmi dalam matematika, tidak hanya dibaca oleh umat Muslim, tetapi juga diterjemahkan dan dipelajari di berbagai belahan Eropa. Kekuatan literasi inilah yang menjadi kendaraan utama penyebaran Islam dan pengetahuan di seluruh dunia.
Literasi Al-Quran dan Penyebaran Islam
Pada masa awal Islam, teks-teks Al-Qur’an ditulis tanpa titik dan tanda baca. Hal ini terjadi karena bahasa Arab pada zaman itu belum mengenal konsep titik (nuqath) untuk membedakan huruf-huruf yang serupa, seperti ba, ta, dan tsa. Al-Qur’an sebagai kitab suci harus dibaca dengan benar sesuai dengan maknanya, dan ini menuntut pemahaman yang mendalam tentang Bahasa Arab.
Namun, seiring dengan penyebaran Islam yang semakin meluas ke daerah non-Arab, muncul tantangan baru. Banyak umat Muslim yang tidak memiliki bahasa ibu Arab mengalami kesulitan dalam membaca dan memahami Al-Qur’an dengan baik. Di sinilah peran penting literasi muncul dalam bentuk pembaruan sistem penulisan huruf Arab.
Pada abad ke-8, seorang ahli nahwu (gramatika Arab) bernama Abu al-Aswad ad-Duali memperkenalkan inovasi yang sangat penting dalam dunia literasi Islam. Ad-Duali adalah salah satu murid dari Ali bin Abi Thalib dan dikenal sebagai orang yang pertama kali memberikan titik pada huruf-huruf Arab untuk membedakan huruf-huruf yang memiliki bentuk serupa. Dengan sistem ini, pembaca bisa lebih mudah membedakan huruf seperti ba (ب), ta (ت), tsa (ث), dan lainnya.
Tidak hanya itu, ad-Duali juga memperkenalkan sistem tanda baca (harakat), seperti fathah (–َ), kasrah (–ِ), dan dhammah (–ُ), yang membantu pembaca untuk melafalkan kata-kata Al-Qur’an dengan benar. Inovasi ini mempermudah pembelajaran dan pembacaan Al-Qur’an oleh umat Muslim yang tidak terbiasa dengan bahasa Arab.
Penambahan titik dan tanda baca pada huruf-huruf Arab ini memiliki dampak besar pada penyebaran Islam. Umat Muslim di berbagai wilayah yang berbahasa berbeda, seperti Persia, Afrika, dan Asia Tengah, dapat dengan lebih mudah belajar membaca Al-Qur’an dan memahami ajaran Islam. Kekuatan literasi inilah yang menjembatani perbedaan bahasa dan budaya, sehingga Islam dapat menyebar dengan cepat dan diterima oleh berbagai bangsa.
Dari Sejarah singkat ini, kita dapat memahami betapa penyebaran Islam tidak dapat dipisahkan dari kekuatan literasi. Sejak wahyu pertama yang memerintahkan untuk membaca hingga inovasi Abu al-Aswad ad-Duali dalam menambahkan titik dan tanda baca pada huruf Arab, literasi telah memainkan peran kunci dalam penyebaran ajaran Islam. Dengan literasi, umat Islam mampu mempelajari Al-Qur’an dengan lebih baik, menyebarkan ilmu pengetahuan, dan menjadikan Islam sebagai peradaban yang besar.
Dalam era modern ini, semangat literasi dalam Islam harus terus dihidupkan. Sebagaimana dulu literasi menjadi kekuatan dalam penyebaran agama dan pembentukan peradaban Islam. Sekarang, literasi tetaplah kunci untuk membangun peradaban yang maju, cerdas, dan penuh keberkahan. Semoga kita semua bisa mengikuti jejak para ulama terdahulu yang menjadikan ilmu dan literasi sebagai jalan menuju ridha Allah SWT. Wallahu a’lamu. (*)

Alhamdulillah