Menuju Ketenangan Sebelum Bertindak: Meneladani Persiapan Nabi Musa Menghadapi Fir‘aun

Menuju Ketenangan Sebelum Bertindak: Meneladani Persiapan Nabi Musa Menghadapi Fir‘aun
*) Oleh : Alfaqir Agus Santoso Budiharso
Wakil Ketua 4 Baznas Provinsi Sulawesi Utara
www.majelistabligh.id -

Setiap manusia yang hidup di tengah masyarakat tidak pernah lepas dari ketidakadilan. Ada yang kecil, terasa di lingkup pribadi, dan ada yang besar, datang dari penguasa zalim atau sistem yang menekan rakyatnya. Sebagian orang memilih diam, sebagian mencoba melawan, tetapi sering tanpa persiapan yang matang. Akibatnya, bukan hanya dirinya yang celaka, melainkan juga orang-orang di sekitarnya. Dalam titik inilah kita membutuhkan teladan para nabi.

Nabi Musa a.s. adalah figur yang sangat kuat menggambarkan bagaimana seseorang membangun ketenangan batin sebelum melangkah menghadapi penguasa zalim. Kisahnya dalam surat Al-Qashash ayat 29–32 menyingkap proses panjang: dari pengasingan diri, penguatan hati, hingga menerima tanda-tanda dari Allah. Ia tidak turun tangan dengan gegabah, tetapi memulai dari ketenangan, lalu beranjak ke keberanian.

Tulisan ini akan mengurai bagaimana kisah Nabi Musa a.s. memberi inspirasi bagi kita yang ingin melawan kedzaliman, sekaligus menolong sesama manusia dari tekanan penguasa yang tidak adil. Langkah Musa menjadi cermin: sebelum bertindak, kita mesti mencapai ketenangan batin, kejelasan niat, serta kekuatan spiritual.

Musa: Dari Lari, Menyepi, Hingga Diberi Tugas

Kisah Musa tidak dimulai dari podium kepemimpinan, tetapi dari sebuah pelarian. Setelah peristiwa di Mesir di mana ia secara tidak sengaja membunuh seorang Qibthi, Musa melarikan diri ke Madyan. Di sana, ia menjalani kehidupan sederhana, menjadi penggembala, bahkan menolong keluarga Syu‘aib. Ia jauh dari gemerlap istana Firaun.

Di titik ini, Musa tidak sedang memimpin rakyat. Ia hanyalah seorang pengembara, orang asing, tanpa harta, bahkan tanpa arah masa depan. Namun justru dalam keadaan sunyi inilah Allah mendidiknya. Kesepian menjadi ruang perenungan. Kesulitan menjadi madrasah jiwa.

Al-Qur’an mencatat, ketika Musa menuntaskan masa pengabdiannya dan berjalan bersama keluarganya, ia melihat api di gunung. Di situlah ia mendapat panggilan suci. Allah menenangkan hatinya, memintanya menanggalkan alas kaki, lalu memperlihatkan mukjizat tongkat yang berubah jadi ular, serta tangan bercahaya.

Ini bukan sekadar pemberian mukjizat. Ia adalah pelajaran: sebelum menghadapi Fir‘aun, Musa harus tenang, percaya diri, dan yakin bahwa Allah bersamanya. Tanpa itu, ia tidak mungkin sanggup berdiri menghadapi penguasa zalim yang mengaku sebagai tuhan.

Ketenangan Sebagai Fondasi Perlawanan

Dari kisah Musa kita belajar: perlawanan terhadap kezaliman bukan dimulai dari amarah, tetapi dari ketenangan. Amarah memang bisa menjadi pemicu awal, tetapi jika tidak dikendalikan, ia hanya melahirkan langkah gegabah. Musa tidak menyerbu istana Fir‘aun sendirian dengan keberanian kosong. Ia menyiapkan hati, membangun fondasi spiritual, hingga akhirnya mendapatkan mandat ilahi.

Ketenangan bukan berarti pasrah atau diam. Ia adalah kondisi batin yang mantap, tidak mudah digoyahkan oleh provokasi atau ancaman. Orang yang tenang dapat berpikir jernih, membaca situasi, dan memilih langkah yang paling tepat. Sebaliknya, orang yang terburu-buru karena emosi mudah terjebak dalam permainan lawan.

Dalam konteks hari ini, banyak orang yang marah melihat ketidakadilan, tetapi justru terjebak dalam tindakan yang merugikan diri sendiri. Ada yang lantang bersuara tanpa perhitungan, ada yang menyalurkan kemarahan dalam cara-cara destruktif. Padahal, yang dibutuhkan adalah strategi. Dan strategi hanya mungkin lahir dari ketenangan.

Menyusun Jalan Menuju Ketenangan

Bagaimana mencapai ketenangan seperti Musa sebelum bertindak? Ada beberapa jalan yang bisa kita teladani dari kisahnya dan kita aplikasikan dalam kehidupan kita.

  1. Menyepi Sejenak dari Hiruk Pikuk

Musa menjalani masa pengasingan di Madyan, jauh dari Mesir. Itu bukan tanpa hikmah. Ia belajar hidup sederhana, bergulat dengan kesepian, dan mengolah batinnya. Dalam dunia modern, kita juga membutuhkan ruang “menyepi”. Tidak selalu harus ke gunung atau gurun, tetapi bisa dalam bentuk menjauh sebentar dari keramaian, mengurangi distraksi, bahkan membatasi informasi yang membanjiri pikiran.

Menyepi memberi kesempatan untuk mengenali diri sendiri: apa sebenarnya niat kita? Apa yang membuat kita resah? Apa yang ingin kita perbaiki dari dunia? Tanpa menjawab ini, kita hanya akan menjadi reaktif.

  1. Memperkuat Hubungan Spiritual

Allah menenangkan Musa dengan wahyu: “Jangan takut, engkau termasuk orang yang aman”. Pesan ini penting. Ketenangan datang ketika kita merasa berada dalam perlindungan Allah. Maka, doa, dzikir, tilawah, dan ibadah lain bukan sekadar ritual, melainkan sumber energi batin.

Bagi siapa pun yang ingin menghadapi penguasa zalim atau sistem yang menekan, kekuatan spiritual menjadi benteng utama. Tanpa itu, mudah sekali putus asa atau terjerumus dalam cara-cara yang salah.

  1. Mengenali Potensi dan Bekal Diri

Mukjizat tongkat dan tangan bercahaya adalah simbol bahwa Musa diberi bekal khusus. Dalam kehidupan kita, bekal itu bisa berupa ilmu, keterampilan, jaringan, atau pengalaman. Ketenangan lahir ketika kita menyadari bahwa kita tidak kosong, bahwa Allah telah membekali kita dengan sesuatu untuk dimanfaatkan.

Sebelum melangkah menghadapi ketidakadilan, penting bagi kita untuk mengidentifikasi potensi apa yang kita miliki. Bisa menulis, bisa berbicara, bisa mengorganisir orang, atau bisa meneliti. Semua itu adalah “tongkat” kita.

  1. Menguji Diri dalam Lingkar Kecil

Musa pertama kali mencoba mukjizatnya di hadapan dirinya sendiri. Ia melihat tongkat menjadi ular, lalu ketakutan, lalu ditenangkan Allah. Proses ini mengajarkan bahwa sebelum tampil di depan lawan besar, kita perlu menguji langkah kita dalam lingkar kecil.

Dalam kehidupan nyata, ini bisa berarti memulai dari diskusi bersama orang terdekat, atau melakukan aksi kecil yang berdampak terbatas, sebelum menghadapi tantangan yang lebih besar. Dengan begitu, kita bisa belajar dari kesalahan tanpa menanggung risiko besar.

Refleksi untuk Kondisi Kita Hari Ini

Banyak orang resah dengan ketidakadilan sosial, politik, maupun ekonomi. Penguasa terkadang menggunakan wewenangnya untuk menekan, bukan melindungi. Dalam kondisi ini, sebagian orang merasa ingin segera “turun gunung” melawan. Namun, tanpa ketenangan, tindakan bisa menjadi bumerang.

Kisah Musa memberi pelajaran bahwa membangun kekuatan dimulai dari dalam. Tekanan eksternal hanya bisa dilawan jika kita punya kekokohan internal. Dan kekokohan itu lahir dari ketenangan batin, kesadaran akan misi, dan keyakinan bahwa Allah selalu menyertai.

Langkah-langkah praktis yang bisa ditempuh misalnya:

  • Membuat catatan harian tentang ketidakadilan yang kita lihat, bukan untuk menyulut amarah, tetapi untuk memahami pola.
  • Melatih diri agar tidak mudah terprovokasi oleh berita atau isu yang berseliweran.
  • Menyusun rencana jangka pendek untuk memperkuat diri: memperbanyak bacaan, menjaga kesehatan, dan membangun jejaring yang aman.

Semua ini adalah versi modern dari “tongkat” Musa.

Dari Ketenangan Menuju Aksi

Ketenangan bukan akhir, tetapi pintu menuju aksi yang efektif. Musa setelah mendapatkan ketenangan batin, akhirnya berani menghadapi Fir‘aun dengan kalimat tegas: “Apakah engkau tidak takut kepada Allah?”. Ia tidak gentar, meski yang dihadapinya adalah penguasa paling kejam.

Demikian pula kita. Setelah menempuh jalan menuju ketenangan, langkah berikutnya adalah bertindak — tetapi dengan penuh perhitungan, penuh doa, dan tidak sendirian. Musa pun ditemani Harun. Artinya, membangun jaringan dan kolaborasi juga bagian dari strategi.

Perlawanan terhadap kezaliman adalah perjalanan panjang, bukan ledakan sesaat. Ia menuntut kesabaran, kebijaksanaan, dan keteguhan hati. Nabi Musa a.s. memberi contoh abadi: sebelum melawan Fir‘aun, ia menyiapkan dirinya dengan ketenangan batin, membangun kepercayaan diri, dan menerima bekal dari Allah.

Dalam dunia kita hari ini, kisah Musa menjadi pelajaran: sebelum kita bergerak memperbaiki masyarakat, sebelum kita berhadapan dengan penguasa zalim atau sistem yang menekan, kita harus terlebih dahulu menaklukkan diri sendiri. Kita harus mencapai ketenangan, agar langkah kita tidak sekadar reaktif, tetapi strategis, penuh keberanian, dan diridai Allah.

Maka marilah kita belajar dari Musa: menyepi sejenak, memperkuat spiritual, mengenali potensi, dan menguji diri dalam lingkar kecil. Dengan begitu, ketika saatnya tiba untuk bertindak, kita akan berdiri tegak, tidak dengan amarah kosong, tetapi dengan ketenangan yang menyalakan keberanian. (*)

 

 

Tinggalkan Balasan

Search