Film Sore: Istri dari Masa Depan berhasil memikat penonton, bukan hanya melalui premis tentang seorang istri yang menembus waktu, tetapi juga lewat perpaduan apik antara musik dan fenomena visual aurora hijau yang membangkitkan emosi.
Puncak emosi tersebut dihadirkan pada akhir cerita, saat Sore dan Jonathan dipertemukan kembali dalam sebuah pameran fotografi yang dipenuhi cahaya hijau. Pengalaman estetis ini menjadi klimaks emosional yang membekas dalam ingatan.
Sore bercerita tentang Jonathan, seorang fotografer lepas asal Indonesia yang tinggal di sebuah kota kecil di Kroasia. Hidupnya monoton dan hampa, dipenuhi rutinitas kerja, kesepian, serta pola hidup tidak sehat.
Hingga suatu malam, seorang perempuan bernama Sore muncul secara tiba-tiba. Ia mengaku berasal dari masa depan dan mengatakan bahwa dirinya adalah calon istri Jonathan. Kehadirannya bukan tanpa alasan: ia datang untuk mencegah kematian Jonathan di masa depan.
Dari sini, konflik batin Jonathan berkembang. Ia mulai meragukan kisah Sore, namun juga tidak bisa mengabaikan rasa yang perlahan tumbuh. Antara skeptisisme dan harapan, keyakinan Jonathan perlahan mulai bergeser.
Meskipun alur cerita tidak sepenuhnya lengkap, film ini menyelipkan isu penting tentang perubahan iklim dan pencairan gletser. Namun kekuatan sesungguhnya muncul dari bagaimana musik digunakan untuk membangun suasana hati.
Lagu Terbuang dalam Waktu dari Barasuara, hadir di momen penting dan menjadi denyut nadi emosional cerita. Petikan gitar dan vokal penuh kesedihan menggambarkan dilema antara melepaskan masa lalu dan menggenggam harapan masa depan.
Musik ini menyatu dengan perasaan Jonathan—takut kehilangan, namun merindukan keselamatan.
Lagu berikutnya, Pancarona, juga dari Barasuara, memperdalam momen keraguan. Perpaduan ritme dinamis dan lirik berlapis mengekspresikan kegelisahan Sore tentang cinta yang harus melewati waktu dan terus berulang.
Ketika piano dan drum bergantian menghentak, penonton seolah merasakan dua jantung—Sore dan Jonathan—yang berdetak dalam dua dimensi waktu berbeda.
Di awal film, lagu Forget Jakarta karya Adhitia Sofyan menghadirkan suasana penyambutan yang hangat. Liriknya menggambarkan kerinduan pada masa lalu, namun juga dorongan untuk membuka lembaran baru.
Suara akustik yang lembut menyentuh hati penonton, memperkenalkan pribadi Jonathan dengan cara yang halus namun kuat.
Dalam suasana kamar bergaya pedesaan khas Eropa Timur, lagu “Gaze” dari Adhitia Sofyan turut memperkaya narasi.
Melodi dan liriknya menggambarkan kecanggungan sekaligus kekaguman saat dua manusia asing saling memandang. Momen ini seolah menjadi saksi bisu tumbuhnya benih cinta.
Menjelang akhir film, lagu “Hingga Ujung Waktu” dari Sheila On 7 hadir sebagai penutup yang menyentuh.
Melodi pop-rock yang ikonik dan lirik penuh harapan mengikat narasi cinta Jonathan dan Sore—bahwa cinta sejati akan tetap hidup, meski waktu terus berjalan.
Adegan terakhir menampilkan Sore dan Jonathan yang dipertemukan kembali oleh waktu di bawah pancaran cahaya aurora hijau.
Ruang pameran yang menampilkan koleksi foto Jonathan tentang perubahan iklim dan detik-detik kehidupan, berubah menjadi ruang penuh magis saat lampu dimatikan dan kilauan hijau mulai menari.
Suasana mistis ini membuat penonton seolah mampu menerima dua realitas yang bersatu.
Aurora hijau di sini bukan sekadar efek visual. Ia menjelma menjadi metafora utama: warna hijau sebagai simbol harapan, pertumbuhan, dan kehidupan baru—seperti yang dibawa Sore ke dalam hidup Jonathan.
Gerakan lembut aurora menjadi gambaran bagaimana masa kini dan masa depan dapat menyatu secara harmonis, asalkan manusia memiliki keberanian untuk berubah.
Film ini tidak hanya memadukan narasi, melodi, dan cahaya, tetapi juga menyisipkan pesan tentang perubahan iklim. Musik membuka hati penonton, sementara foto-foto tentang kehidupan di kutub akibat pencairan es menjadi refleksi akan dunia yang sedang berubah.
Narasi aurora hijau menjadi penguat bahwa keintiman dan keajaiban visual dalam film ini layak diapresiasi.
Tak heran jika film ini mampu menyentuh lebih dari satu juta penonton. Pesan tersirat Sore: Istri dari Masa Depan begitu kuat: cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang merawat harapan dan membuka ruang bagi cahaya baru untuk masuk—menembus kekurangan, keraguan, dan ruang kosong dalam hidup.
Saat musik mengalun, aurora menyala, dan foto-foto kehidupan dipertontonkan, kita diajak merenung: apakah kita berani percaya pada yang tampak mustahil?
Pada akhirnya, Sore: Istri dari Masa Depan adalah film fiksi ilmiah romantis yang estetis. Ia menyatukan kata-kata, musik, dan cahaya menjadi pengalaman sinestetik yang menyentuh.
Penulisnya seperti ingin berpesan: saat kita membuka diri pada harmoni waktu, kita bisa menemukan “aurora hijau” kita sendiri—perubahan, harapan, dan cinta yang menuntun ke masa depan yang lebih bermakna. (*)
