*)Oleh: Bukhori at-Tunisi
Alumni Ponpes YTP Kertosono; penulis buku: Logical Fallacies, Kritik al-Qur’an atas Logika
“Bolehkah Nabi berijtihad?” pertanyaan yang sangat menggelitik para ahli fikih, Ushul Fikih, filosof hukum Islam, dan para pemikir keislaman, sejak zaman awal Islam hingga zaman kini. Seorang nabi yang dijamin atas segala perkataan dan perbuatannya dari kesalahan (ma’shum) dan dijamin akan diberi “petunjuk” oleh Allah lewat wahyu atas segala hal yang dihadapi, harus “berfikir keras” (ijtihad) dalam menyelesaikan dan menjawab suatu persoalan di masanya?
Ada dua pendapat:
1. Nabi tidak berijtihad
Pendapat pertama, Nabi tidak berijtihad, karena apa yang dilakukan Nabi, semuanya berdasarkan wahyu Allah, bukan kemauan pribadi, nafsu, atau subyektifitas Nabi.
Dalam kasus lupanya nabi, lupa pun menjadi syariat. Lupanya Nabi dalam jumlah rakaat shalat, menjadi syariat bahwa orang yang kurang dalam jumlah rakaatnya, harus menggenapi, menyempurnakan jumlah rakaatnya. Dan disyariatkan untuk mengerjakan sujud sahwi.
Lupa pun karena “rencana” Allah. Nabi lupa, bukan karena Nabi Lupa, namun dilupakan oleh Allah. Kata hadits:,
إِنِّي لَاأَنْسَى وَلَكِنْ أُنَسَّ لِأَسُنَّ
“Sesungguhnya aku tidak pernah lupa, tetapi aku dibuat lupa (oleh Allah) untuk membuat kesunnahan” (HR. Imam Malik).
Nabi pernah ketiduran saat tidur malam, karena mau dibangunkan salah seorang sahabatnya. Yang berjanji ketiduran dan nabi pun ketiduran. Ketidurannya Nabi, karena “ditidurkan” Allah untuk dijadikan syariat, bahwa bila ketiduran, dibolehkan qadla’ shalat.
Jadi, Nabi ketiduran pun, jadi syariat. Subuh yang kesiangan karena ketiduran, hukumnya boleh dengan peristiwa tersebut. Imam al-Bukhari dalam kitab Sahih Al Bukhari, sebagai berikut:menceritakan Nabi dan para sahabat subuh kesiangan
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً، فَقَالَ : بَعْضُ القَوْمِ : لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ،قَالَ : أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنِ الصَّلاَةِ قَالَ بِلاَلٌ : أَنَا أُوقِظُكُمْ. فَاضْطَجَعُوا . وَأَسْنَدَ بِلاَلٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ. فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ ، فَقَالَ : يَا بِلاَلُ ، أَيْنَ مَا قُلْتَ ؟ قَالَ : مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ ،قَالَ : إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ ، يَا بِلاَلُ ، قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ! فَتَوَضَّأَ ، فَلَمَّا ارْتَفَعَتِ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ ، قَامَ فَصَلَّى
Diriwayatkan dari Abdullah ibn Abi Qatadah dari ayahnya berkata: “Kami pernah melakukan perjalanan (yang melelahkan) bersama Nabi SAW, hingga pada suatu malam. Sebagian orang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab, “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun, ternyata matahari sudah jelas menampakkan cahayanya, maka beliau pun berkata, “Wahai Bilal, mana janji yang kau ucapkan?” “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya,” jawab Bilal. Beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT memegang ruh-ruh dari kalian menurut kehendak-Nya, dan mengembalikan mereka kepada kalian, juga sebagaimana kehendak-Nya. Wahai Bilal, berdiri dan Adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat! “ Kemudian Rasulullah SAW berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan Shalat.”
Itulah Nabi, apa pun yang keluar dari Nabi, adalah dalil syar’iy, ada nilai hukumnya, tidak ada yang tidak bernilai hukum, mulai dari yang bersifat wajib, sunnah, mubah, makruh, maupun haram.
Firman Allah di dalam QS. An-Najm ayat 3-4 :
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٌ يُوحَىٰ ٤
“Dan tiadalah yang diucapkan (Nabi) itu berasal dari hawa nafsunya. Itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Para ahli tafsir dan Mutakallimun berpendapat bahwa lupa yang diterangkan di dalam hadits, bukanlah lupa seperti manusia. Beda antara lupa dengan bahasa نَسِيَ-يَنْسَي-نِسْيَانًا dengan سَهَا-يَسْهُو-سَهْوًا. Kata نَسِيَ-يَنْسَي-نِسْيَانًا bermakna lalai, lengah, sebagai sesuatu yang negatif, sedangkan Rasulullah SAW disucikan dari sifat tersebut, sehingga Nabi tidak pernah nisyan (lupa karena lalai).
Sedangkan kata سَهَا-يَسْهُو-سَهْوًا bermakna menyibukkan diri. Dalam hal ini Rasulullah pernah melakukan sahwan (lupa karena menyibukkan diri) di dalam shalatnya. Sibuknya Nabi tentu tidak sama dengan sibuknya manusia pada umumnya, yang Rasulullah sibukkan sampai-sampai membuat Nabi lupa adalah menyibukkan diri dengan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan shalat bukan lupa karena lalai atau lengah.
Menurut Gus Baha’, “Lupanya Nabi tidak seperti lupanya manusia biasa. Manusia biasa lupa tidak menjadi syariat, sedang bagi Nabi, jika pun lupa akan menjadi syariat hukum.” Gus Baha’ menganalogkan dengan sifat Nabi “tidak bisa membaca” (ummi).
