*)Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Penulis Buku Nikmatnya Bersyukur, Merajut Gaya Hidup Penuh Bahagia (Quanta EMK, 2018), Guru SMUTU Sumenep
Pernahkah Anda melihat para pedagang kaki lima yang berjejer di pinggir jalan? Ada yang menjual pentol, es teh, nanas kupas, dan berbagai dagangan lainnya. Jika kita perhatikan, mungkin sebagian dari mereka berhasil menjual banyak dagangan dalam sehari, tetapi ada juga yang hanya memperoleh transaksi kecil, mungkin hanya Rp5.000 sampai dengan Rp30.000. Mereka santai-santai saja. Dan, pernahkah kita mendengar mereka mengucapkan “Alhamdulillah” atas hasil yang mereka dapatkan, meski jumlahnya tak seberapa? Sesekali memang harus ngobrol dengan mereka.
Kadang saya merenung, sebagai pemilik toko besar dengan omzet jutaan rupiah per hari, rasa syukur saya justru terasa kecil. Seakan apa yang didapat selalu kurang, dan lagi-lagi terasa kurang. Padahal, kunci dari rasa syukur adalah menerima yang kita punya dan merasa bahwa itu sudah lebih dari cukup.
Sementara itu, seringkali kita yang berpenghasilan besar justru merasa kurang puas, bahkan jarang mengucapkan hamdalah dengan tulus atas nikmat itu.
Syukur itu bukan tentang seberapa besar yang kita terima, tetapi bagaimana cara kita melihat apa yang kita punya. Ketika menerima, kita seharusnya merasa banyak, namun ketika berbagi kita seharusnya merasa belum cukup banyak memberi. Ini adalah prinsip hidup yang mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari jumlah materi yang dimiliki, tetapi dari rasa cukup yang ada di dalam hati.
Pernahkah Anda melihat bahwa sebenarnya kebutuhan kita tidaklah banyak? Kita hanya butuh satu piring nasi untuk makan, satu sepeda motor yang layak untuk keperluan sehari-hari, dan mungkin satu mobil yang bisa dipakai bersama keluarga. Mengapa kita merasa perlu memiliki barang-barang mewah? Bahkan, ada yang mengganti mobilnya berkali-kali, meski dengan utang, hanya demi gengsi. Padahal, mobil sebelumnya sudah lebih dari cukup untuk digunakan.
Begitu juga dengan rumah kita. Rumah kita mungkin memiliki banyak kamar, tapi berapa kamar yang kita pakai setiap harinya? Hanya satu atau dua saja. Kita tidak benar-benar memerlukan lebih dari itu, tetapi angan-angan kita sering kali membuat kita merasa tidak puas. Di sinilah manusia sering terlenakan oleh mimpi-mimpi tentang kesempurnaan materi yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.
Hal serupa juga terjadi pada jabatan dan kekuasaan. Ada orang yang merasa sangat kehilangan ketika jabatannya dicopot. Ia menyesal dan bersedih seolah kehilangan dunia. Padahal, di luar sana, ada banyak orang yang hidup bahagia tanpa harus memiliki jabatan tinggi. Mereka yang sederhana dan hidup apa adanya, bisa tertawa lepas setiap hari.
Mengapa ada orang yang tetap merasa cukup dan bahagia meskipun tidak memiliki kekayaan atau jabatan? Jawabannya sederhana: mereka bersyukur. Mereka tidak membiarkan hidup mereka dikuasai oleh ambisi yang berlebihan. Sementara itu, sering kali kita sendiri yang menciptakan ketidakbahagiaan dengan terus-menerus mengejar hal-hal yang sebenarnya tidak perlu.
Kesederhanaan dalam hidup adalah kunci untuk merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Dengan tidak memaksakan diri untuk memiliki lebih dari yang dibutuhkan, kita bisa belajar untuk bersyukur atas apa yang kita miliki. Kebahagiaan tidak datang dari banyaknya harta atau tingginya jabatan, melainkan dari rasa syukur hati yang mendalam.
Ketika kita melihat pedagang kaki lima yang mampu mengucap syukur dengan rezeki kecil yang mereka dapat, kita seharusnya belajar untuk lebih menghargai apa yang kita punya. Hamdalah tidak hanya diucapkan ketika mendapatkan banyak, tetapi juga saat menerima sedikit. Syukur itu tentang bagaimana kita memandang dunia, tentang bagaimana kita bisa melihat hal yang biasa sebagai sesuatu yang luar biasa.
Pada akhirnya, hidup adalah soal keseimbangan antara menerima dan memberi. Semakin kita bersyukur, semakin banyak kebahagiaan yang akan kita rasakan. Dan semakin kita merasa cukup, semakin kita akan terhindar dari rasa tidak puas yang tak pernah ada habisnya. Wallahu a’lamu. (*)
