Tentang Kesombongan yang Tak Terlihat

Tentang Kesombongan yang Tak Terlihat
*) Oleh : Sigit Subiantoro
Anggota Majelis Tabligh PDM Kabupaten Kediri
www.majelistabligh.id -

Pagi ini, saya mendapat rezeki tak terduga—bukan berupa uang atau barang, tapi sebuah nasihat penuh hikmah dari seorang bapak penjual sayuran. Beliau adalah pensiunan dari salah satu BUMN, kini menjalani hari tuanya dengan berdagang di pasar.

Dengan senyum tulus, ia berkata:

“Jika nanti engkau mulai dipanggil bos, dokter, jenderal, ustadz, profesor, atau gelar-gelar besar lainnya,
Maka jangan pernah gengsi untuk membersihkan WC, membuang sampah, berjalan kaki, membantu pekerjaan istri di rumah, makan seadanya, atau sekadar berkunjung ke rumah tetangga yang hidupnya pas-pasan.
Karena semua itu akan menjaga hatimu dari kesombongan.”

Masya Allah… Ucapan yang begitu sederhana, tapi menghujam dalam. Seperti tamparan halus bagi siapa pun yang mulai merasa dirinya “berhasil”.

Sungguh benar, ketika manusia berada di puncak, sering kali yang tumbuh bukan rasa syukur—melainkan angkuh. Merasa paling berjasa. Paling berilmu. Paling mulia.

Padahal, justru di titik tertinggi itulah ujian keikhlasan dan kerendahan hati datang bertubi-tubi.

Kesombongan bukan selalu tentang harta. Bahkan, yang lebih halus dan sulit disadari adalah sombong karena kedudukan, karena merasa lebih baik, lebih suci, atau bahkan… lebih rajin ibadah daripada orang lain.

Yang lebih mengerikan, semakin tinggi tingkat kesombongan seseorang, semakin sulit pula ia menyadarinya, apalagi mengakuinya.

Rasulullah ﷺ telah memperingatkan dengan sangat tegas:

“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji zarrah (debu).”
(HR Muslim)

Betapa ngerinya jika kesombongan itu tumbuh diam-diam di hati kita. Dan siapa pun tak luput darinya—bukan hanya orang awam atau para bos, bahkan di kalangan para ustadz, mubaligh, kiai, maupun habaib, benih kesombongan bisa menyelinap tanpa disadari.

Na’udzubillah…

Mari kita jaga hati kita. Jangan sampai keberhasilan menjadikan kita tinggi hati. Jangan sampai amal menjadikan kita merasa suci. Jangan sampai gelar dan kedudukan menjauhkan kita dari sifat tawadhu’ dan rendah hati.

Nas’alullaha as-salaamah…
Semoga Allah menjaga hati kita dari penyakit yang tak tampak ini.
Dan semoga kita bisa tetap membumi, meski mungkin suatu hari kita berada di tempat yang tinggi

Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Search