Ustadz Adi Hidayat: Masjid Jangan Hanya Jadi Tempat Shalat, Tapi Pusat Solusi Umat dan Ekonomi Kerakyatan

www.majelistabligh.id -

Masjid tidak boleh hanya dimaknai sebagai tempat shalat, tetapi juga harus menjadi pusat gerakan ilmu, dakwah, dan kesejahteraan umat. Pesan lugas itu disampaikan Ustadz Dr. Adi Hidayat, Lc., MA., Ph.D. dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Sabtu (25/10/2025) di Kusuma Agro, Kota Batu, Jawa Timur.

Dalam forum itu, dengan tema “Masjid sebagai Pusat Gerakan Ilmu, Dakwah, dan Kesejahteraan Umat serta Pola dan Strategi Kaderisasi Muballigh-Ulama Muhammadiyah Multiperan dan Multiaspek,” Ustadz Adi Hidayat mengurai makna masjid secara mendalam, dari sisi bahasa hingga peran sosial-ekonomi.

“Masjid tidak boleh dibaca hanya sebagai ruang fisik; ia adalah institusi yang memiliki kegiatan berkelanjutan. Di dalamnya ada aktivitas spiritual, kultural, intelektual, dan fisikal,” ujarnya.

Menurutnya, dalam akar bahasa Arab, istilah masjid dan majelis memiliki makna yang sangat kaya. Karena itu, kata masjid sebagai tempat tidak menggunakan kata masjad juga dengan kata majlis tidak dengan majlas tapi dari kata yang menggunakan masdar sima’i (bahasa tutur orang Arab). Majlis dari kata jalasa dan masjid dari kata sajada, masing-masing kata itu bila orang Arab mengganti harakat dari “fathah” menjadi “kasrah” maka itu merepresentasikan pola interaksi dengan makna berbeda dan berulang.

“Perbedaan ini penting ketika kita merancang fungsi masjid, apakah hanya tempat shalat atau juga pusat pertemuan intelektual dan penggerak sosial-ekonomi,” jelasnya.

Masjid sebagai Pusat Solusi dan Ekonomi Kerakyatan
Ustadz Adi menekankan bahwa secara antropologis dan sosiologis, masjid berfungsi sebagai pusat solusi umat. Orang datang ke masjid bukan hanya untuk beribadah, tetapi juga mencari jawaban atas persoalan sosial, politik, dan ekonomi.

“Dalam tradisi Nabi, masjid menjadi pusat kegiatan ekonomi: tempat perdagangan, distribusi, dan solidaritas kolektif,” tegasnya.

Beliau menambahkan, konsep ta’awun (tolong-menolong) dan syirkah (kerja sama) menjadi dasar moral ekonomi Islam. Ketika sistem ekonomi di sekitar masjid berjalan baik, masyarakat akan merasakan stabilitas, ketahanan sosial meningkat, dan kriminalitas menurun.

Masjid Tempat Menyatukan Ruh, Akal, dan Jasmani
Lebih lanjut, Ustadz Adi menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga dimensi penting: spiritual (ruh), intelektual (akal), dan fisik (jasad). Ketiganya harus dirawat agar manusia menjadi utuh.

“Jika akal tidak dibimbing ruhani, maka ilmu bisa salah arah,” tuturnya.

Karena itu, pendidikan yang berpusat di masjid harus menyentuh seluruh aspek tersebut. Ia memaparkan empat fungsi ideal masjid, yaitu pertama, ruang spiritual tempat shalat, pengajian, pembinaan ruhiyah. kedua, ruang pendidikan, sebagai madrasah, kelas keterampilan dan kajian ilmu. Ketiga, ruang sosial-ekonomi, berupa koperasi, lembaga usaha jemaah dan pasar komunal. Keempat, ruang budaya, berupa kegiatan seni Islami dan pembentukan karakter.

Koperasi Masjid, Motor Ekonomi Jemaah
Dalam konteks ekonomi modern, Ustadz Adi Hidayat menilai koperasi masjid bisa menjadi model pemberdayaan yang selaras dengan nilai-nilai syariah. Prinsip berbagi manfaat, menghindari monopoli, dan mengutamakan kemaslahatan umat dan menjadi fondasi ekonomi jemaah.

“Masjid harus menjadi pusat solusi. Bila ada masalah keluarga, hukum, atau ekonomi, masjid harus menjadi tempat konsultasi dan penyelesaian,” pesannya.

Selain itu, beliau juga menekankan pentingnya menghidupkan makna ‘umr’ dalam konteks masjid, bukan sekadar umur biologis, melainkan umur manfaat.

“Setiap kegiatan di masjid harus melahirkan manfaat jangka panjang bagi umat,” tutupnya. (Afifun Nidlom)

Tinggalkan Balasan

Search