Pemerintah Arab Saudi menyampaikan keprihatinan atas tingginya angka kematian jemaah haji Indonesia pada musim haji 1446 H ini. Dalam pertemuan resmi dengan Menteri Agama Republik Indonesia sekaligus Amirul hajj, KH Nasaruddin Umar, Menteri Kesehatan Arab Saudi menyoroti kesiapan dan kinerja tim medis Indonesia.
“Mereka mempertanyakan berapa jumlah dokter yang kita bawa, berapa perawatnya, dan apakah sistem penyeleksian kesehatan sebelum keberangkatan masih seketat tahun lalu,” ujar Menag usai menghadiri Grand Hajj Symposium ke-49 di Jeddah, Ahad (1/6).
Berdasarkan data Siskohat per Ahad pukul 17.00 waktu Arab Saudi, jumlah jemaah Indonesia yang wafat telah mencapai 115 orang. Dari jumlah itu, 71 orang laki-laki dan 44 orang perempuan. Jika dilihat dari usia, kelompok lansia mendominasi dengan 64 orang (55,65%), disusul kelompok usia 41–64 tahun dengan 51 orang (44,3%).
Dua embarkasi yang mencatat jumlah jemaah wafat tertinggi adalah SOC Solo dan SUB Surabaya, masing-masing dengan 17 orang. Dibandingkan periode yang sama pada 2024 (98 orang), jumlah wafat tahun ini lebih tinggi, meski masih lebih rendah dari 2023 (131 orang).
Menag menyebut bahwa salah satu kendala besar adalah kesulitan komunikasi saat jemaah dirujuk ke rumah sakit di Arab Saudi. Banyak jemaah enggan berobat karena tidak memahami bahasa dan merasa tidak didampingi.
“Bahasa Arab tidak bisa, bahasa Inggris pun susah. Bahkan, untuk bahasa Indonesia kadang harus diterjemahkan dulu ke bahasa daerah,” ungkap Menag.
Akibatnya, banyak jemaah memilih menahan sakit demi menghindari kerumitan berobat di rumah sakit asing.
Peran Diplomatik Prof. Taruna Ikrar untuk Jemaah
Dalam situasi krusial ini, Prof. Taruna Ikrar, yang turut menjadi anggota Amirulhaj dan menjabat sebagai Kepala BPOM, berperan aktif dalam diplomasi kesehatan. Ia menjelaskan kepada pihak Saudi mengenai urgensi peran dokter Indonesia di lapangan dalam mengurangi beban komunikasi dan kecemasan jemaah.
“Awalnya, dokter kita dilarang melakukan observasi di klinik. Tapi setelah Prof. Taruna menjelaskan pentingnya peran dokter Indonesia, akhirnya ada kesepakatan,” jelas Menag.
Hasilnya, tim medis Indonesia kini diperbolehkan menangani jemaah secara langsung di klinik-klinik sektor, tanpa harus merujuk mereka ke rumah sakit kecuali dalam kondisi darurat.
“Ini membuat jemaah lebih tenang. Mereka merasa lebih nyaman dirawat oleh dokter sebangsa,” ujar Nasaruddin.
Menag mengapresiasi keterbukaan pihak Saudi, namun juga menegaskan pentingnya introspeksi nasional dalam memperbaiki pelayanan haji ke depan. Mulai dari pemeriksaan kesehatan jemaah sebelum keberangkatan, jumlah dan kesiapan tenaga medis, hingga efisiensi sistem layanan lapangan.
“Semua catatan ini harus jadi bahan evaluasi. Jangan hanya untuk tahun ini, tapi sebagai pembelajaran jangka panjang,” tegas Menag.
Dengan suhu di Tanah Suci yang diperkirakan mencapai 50°C pada puncak haji 5 Juni mendatang, fokus utama pemerintah bukan hanya perlindungan spiritual, tetapi juga ketahanan fisik jemaah. Upaya menjaga jemaah dari risiko heatstroke, dehidrasi, dan kelelahan berat menjadi prioritas bersama tim Amirulhaj.
Diplomasi kesehatan bukan sekadar protokol medis, tetapi bagian dari ikhtiar kolektif menjaga keselamatan tamu Allah. Peran dokter Indonesia di lapangan kini menjadi salah satu kunci strategis dalam merawat jemaah dengan lebih dekat, manusiawi, dan berdaya. (afifun nidlom)
