Beberapa waktu terakhir, media sosial kembali riuh oleh berita pernikahan dengan mahar fantastis — tiga miliar rupiah. Banyak yang terpukau, sebagian kagum, tapi tak sedikit pula yang mengernyit. Di zaman ketika biaya hidup semakin berat, angka sebesar itu tentu memancing rasa ingin tahu: apakah cinta memang perlu dibuktikan dengan nominal sebesar itu? Atau kita justru sedang mengukur kesungguhan dengan mata uang?
Dalam psikologi sosial, perilaku semacam ini sering kali dipengaruhi oleh social comparison, kebutuhan untuk diakui dan dihargai di mata orang lain. Ketika mahar berubah menjadi ajang prestise, nilainya bergeser dari simbol kasih menjadi simbol status.
Di sisi lain, dorongan tersebut muncul dari kebutuhan manusia untuk merasa istimewa — ingin dicintai, ingin dianggap “berharga”, bahkan jika harus dibungkus dengan kemewahan. Tapi cinta sejati, seperti yang kita tahu, tak pernah butuh panggung. Ia tumbuh dalam kesederhanaan, bukan dalam angka yang bisa dihitung kalkulator.
Islam sebenarnya menempatkan mahar dalam posisi yang lembut tapi bermakna. Ia bukan harga jual, melainkan tanda kasih dan tanggung jawab. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan)” (HR. Abu Dawud).
Nabi sendiri pernah menikahkan sahabatnya hanya dengan hafalan Al-Qur’an sebagai mahar. Artinya, kemuliaan pernikahan tidak diukur dari banyaknya harta, tetapi dari keikhlasan dan kesungguhan niat. Dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 4), Allah memerintahkan agar mahar diberikan sebagai pemberian yang tulus, bukan alat pamer.
Namun di sisi lain, fenomena mahar besar juga menyentuh aspek psikologis yang lebih halus: keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi pasangan. Kadang bukan soal pamer, tapi cara seseorang mengekspresikan cinta dan tanggung jawab. Dalam hal ini, nilai besar bukanlah masalah — selama tidak menimbulkan kesombongan, tidak menjerat hutang, dan tidak mengaburkan niat ibadah. Yang menjadi masalah adalah ketika angka besar dijadikan ukuran cinta, bukan hasil cinta itu sendiri.
Pada akhirnya, mahar 3 miliar hanyalah simbol. Ia bisa menjadi lambang cinta yang tulus, tapi juga bisa berubah menjadi cermin kesombongan. Yang menentukan bukan jumlahnya, tapi niat di baliknya. Sebab dalam kehidupan rumah tangga, yang akan menguji cinta bukan seberapa megah akadnya, tapi seberapa sabar dua hati menata bahtera ketika badai datang. Jadi, jika cinta sejati bisa dibayar dengan ketulusan, mengapa harus menukarnya dengan angka yang tak menjamin sakinah? (*)
