Kepemimpinan profetik berupaya menegakkan nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara, dan mensugesti para penyelenggara negara untuk konsisten dalam mewujudkannya. Namun dalam praktiknya, muncul kemunafikan politik sebagian elite politik yang menggandeng pihak-pihak yang tidak ingin tegaknya nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara.
Ketika mengelola negara, Islam mendoktrin agar elite Islam bersinergi dengan sesama umat Islam. Namun sebagian elite muslim justru menggandeng kelompok non-muslim dengan meninggalkan kaum muslimin. Hal ini bukan hanya menimbulkan perpecahan internal, tetapi juga menghalangi tegaknya nilai-nilai Islam. Ketika elite muslim bersinergi dengan non-muslim untuk mendapatkan kekuatan, justru itulah awal hancurnya mimpi besar tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara.
Kepemimpinan Profetik
Dalam mewujudkan kepemimpinan profetik, Islam mensugesti kepada para elite untuk berupaya mewujudkan tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara. Al-Qur’an mendorong sesame elite muslim terus bersinergi dan bekerjasama mewujudkan tegaknya keadilan sosial, yang berbasis Islam, sehingga lahirlah kemakmuran berbasis profetik.
Dalam konteks ini, Al-Qur’an melarang kepada elite muslim menggandeng kelompok masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda dengan kaum muslimin. Disinilah relevansi larangan bersinergi dengan kaum Yahudi/Nasrani ketika menjalankan proyek strategis, mengelola negara. Hal ini sebagaimana paparan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ۚ أَتُرِيدُونَ أَن تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ عَلَيۡكُمۡ سُلۡطَٰنٗا مُّبِينًا
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? (QS. An-Nisā : 144)
Al_Qur’an mensugesti para elite muslim untuk mengambil kaum muslimin untuk bersinergi dalam mengelola negara. Dan pada yang sama melarangnya menggandeng orang-orang kafir dalam merealisasikan tegaknya nilai-nilai Islam. Pada saat yang sama, Al-Qur’an pun mensinyalir bahwa ada sekelompok elite muslim yang menginginkan kekuatan Islam dengan menggandeng kaum kafir. Hal ini sebagaimana diabadikan Al-Qur;an sebagaimana firman-Nya :
ٱلَّذِينَ يَتَّخِذُونَ ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ۚ أَيَبۡتَغُونَ عِندَهُمُ ٱلۡعِزَّةَ فَإِنَّ ٱلۡعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعٗا
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS. An-Nisā : 139)
Allah menegaskan kekeliruan fatal sebagian elite muslim yang mengharap kekuatan dengan menggandeng kaum kafir. Sementara sumber kekuatan hakiki datang dari Allah. Allah lah sebagai sumber kekuatan yang sebenarnya. Ketika berupaya mengalihkan kekuatan dari sumbernya yang hakiki kepada kekuatan semu, maka umat Islam justru semakin lemah. Karena pada prinsipnya, orang-orang kafir menginginkan umat Islam dalam keadaan lemah dan hina.
Kemunafikan Politik
Kalau Al-Qur’an mensugesti agar seluruh elite muslim bersinergi dengan sesama muslim, namun sebagian elite muslim yang lain justru menggandeng kaum kafir (Yahudi/Nasrani). Elite muslim ini mendasarkan pada kepentingan politik sesaat, dan secara empirik merekalah yang berkuasa di area ekonomi dan politik. Fenomena menggandeng non-muslim inilah yang disebut dengan kemunafikan politik.
Kemunafikan politik mendasarkan kepentingan duniawi sehingga setiap saat strategi politik berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan realitas politik. Ketika harus mengorbankan nilai-nilai agamanya, maka bisa mereka lakukan dengan kalkulasi politik kepentingan. Hal ini rela mereka lakukan meskipun nilai-nilai agamanya terinjak-injak. Praktek korupsi yang sulit diberantas, merebaknya perjudian, atau pembiaran terhadap kelompok LGBT tidak lepas dari praktek kemunafikan politik.
Pada situasi yang lain, kemunafikan politik bisa saja mentoleransi penggunaan simbol-simbol agama untuk mewujudkan ambisi dan kepentingan politiknya. Dengan kata lain, sikap politiknya bisa berubah-ubah menyesuaikan dengan kepentingan. Kalau diperlukan penampilan agamis, maka mereka terlihat sangat shalih. Namun di balik penampilan agamis itu, mereka balik badan dan ingin mengubur nilai-nilai Islam. Penampilan yang berubah cepat itu digambarkan Al-Qur’an sebagaimana termaktub di dalam firman-Nya :
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ ءَامَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ ٱزۡدَادُواْ كُفۡرٗا لَّمۡ يَكُنِ ٱللَّهُ لِيَغۡفِرَ لَهُمۡ وَلَا لِيَهۡدِيَهُمۡ سَبِيلَۢا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (QS. An-Nisā : 137)
Kemunafikan politik hanya mendatangkan kehinaan karena Allah membiarkan mereka berjalan sesuai dengan kepentingan politiknya. Mereka dijauhkan dari jalan yang lurus sehingga terjerumus dalam kehinaan. Dalam menjalankan strategi politiknya, mereka menipu Allah dengan berpenampilan seperti orang muslim pada umumnya, namun hakekat yang sebenarnya berbeda dengan yang nampak. Al-Qur’an membuka kedok mereka sebagaimana firman-Nya :
إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud ria (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. An-Nisā : 142)
Malas dalam menegakkan shalat, dan sedikit sekali dalam mengaitkan kehidupannya dengan nilai-nilai Islam, merupakan realitas yang menunjukkan komitmennya yang rendah pada Islam. Oleh karenanya, pantas apabila Allah menempatkan mereka pada tempat yang buruk, dan hina. Al-Qur’an menegaskan bahwa mereka ditempatkan di dasar neraka sebagaimana firman-Nya :
إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ فِي ٱلدَّرۡكِ ٱلۡأَسۡفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمۡ نَصِيرًا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. (QS. An-Nisā : 145)
Pantas apabila ditempatkan posisi paling bawah di neraka, karena penampilannya berbeda dengan keyakinannya, dan keyakinannya berbeda dengan penampilannya. Dengan kata lain, kemunafikan politik hanya akan mendatangkan kerusakan dan kehinaan bagi masyarakat muslim. Realitas yang buruk inilah yang seharusnya menjadi spirit pada elite muslim agar menjauhi praktek kemunafikan politik, dan terus menggandeng sesama muslim ketika menginginkan tegaknya Islam dalam praktek bernegara. Kemunafikan politik hanya akan menguburkan nilai-nilai Islam bersama terhinanya kaum muslimin yang bermimpi besar tegaknya keadilan, tetapi yang muncul justru penderitaan, pemiskinan, dan penyengsaraan massif.
Surabaya, 13 Oktober 2025
Kepemimpinan profetik berupaya menegakkan nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara, dan mensugesti para penyelenggara negara untuk konsisten dalam mewujudkannya.
