Isu hilangnya tiga orang pascademonstrasi kembali menyulut perdebatan publik tentang peran negara dalam melindungi hak asasi warganya. Bagi masyarakat luas, peristiwa ini bukan hanya soal tiga individu, melainkan tentang sejauh mana negara benar-benar hadir untuk menjamin hak hidup, rasa aman, dan keadilan.
Demonstrasi, yang pada dasarnya merupakan ruang sah untuk menyampaikan aspirasi, berubah menjadi titik rawan ketika diwarnai kekerasan dan penghilangan orang. Maka, persoalan ini bukan sekadar kasus insidental, melainkan refleksi besar tentang komitmen negara pada prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Tujuan dari mengangkat masalah ini jelas: menegaskan bahwa negara tidak boleh abai terhadap setiap warga yang hilang dalam situasi konflik sosial, apalagi dalam konteks demonstrasi yang dijamin konstitusi. Pencarian dan penemuan para korban bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga moral. Sebab, kegagalan negara untuk mengungkap kasus hilangnya tiga orang ini bisa menjadi preseden buruk: bahwa penghilangan paksa masih mungkin terjadi di era demokrasi, dan negara memilih diam. Tujuan akhirnya adalah menuntut konsistensi tanggung jawab negara, bukan hanya dalam bentuk retorika, melainkan langkah nyata yang transparan.
Data memperlihatkan bahwa kasus penghilangan orang bukan fenomena baru. Komnas HAM mencatat sejak 1997–1998 ada 23 orang aktivis dinyatakan hilang, dan hingga kini sebagian besar belum ditemukan. Bahkan survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (2024) menunjukkan 68% responden menilai penegakan HAM di Indonesia masih lemah, khususnya terkait penyelesaian kasus lama. Angka ini memperlihatkan ketidakpercayaan publik yang cukup signifikan. Hilangnya tiga orang pascademonstrasi hari ini, meski skalanya tampak lebih kecil, tetaplah menegaskan tren yang berulang: negara gagap, bahkan cenderung pasif, dalam memastikan warganya tidak “lenyap” begitu saja.
Lebih jauh, keberadaan data tersebut memperlihatkan bahwa hilangnya individu pascademonstrasi bukan sekadar kehilangan fisik, tetapi juga simbol dari hilangnya rasa aman publik. Jika 3 orang bisa hilang tanpa kejelasan, maka 300 atau bahkan 3.000 orang lain bisa merasa terancam. Masyarakat membutuhkan jaminan: bahwa ketika mereka bersuara, tidak ada risiko dibungkam secara paksa. Apalagi demonstrasi sendiri adalah bagian dari demokrasi, di mana warga berhak mengekspresikan pandangan mereka. Negara yang gagal melindungi hak ini sesungguhnya sedang menegasikan legitimasi demokratisnya sendiri.
Dari sisi argumentasi, ada dua hal mendasar yang harus digarisbawahi. Pertama, negara memiliki perangkat hukum dan aparat yang kuat, sehingga tidak ada alasan untuk membiarkan kasus hilangnya warga negara berlarut-larut. Kedua, negara adalah pihak yang berkewajiban pertama dalam memastikan perlindungan HAM. Jika negara justru lamban, atau malah terlihat defensif, maka wajar bila publik mencurigai adanya keterlibatan aparat. Dan kecurigaan semacam itu, bila terus dibiarkan tanpa klarifikasi, hanya akan memperlemah kepercayaan pada institusi negara.
Bila menimbang perspektif publik, peristiwa ini jelas memunculkan rasa frustasi. Survei Indikator Politik (2025) menemukan 54% anak muda menyatakan ragu menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi karena takut mendapat kekerasan atau represi. Angka tersebut bukan hanya mencerminkan ketakutan, melainkan juga degradasi ruang demokrasi. Bagaimana mungkin bangsa yang menyebut dirinya demokratis, namun rakyatnya gentar sekadar bersuara? Hilangnya tiga orang pascademonstrasi memperparah kecemasan tersebut, dan sekaligus meruntuhkan kepercayaan generasi muda terhadap komitmen negara.
Menurut saya, kasus ini harus dilihat lebih dari sekadar tuntutan pencarian tiga orang. Ia adalah ujian terhadap integritas negara: apakah negara sungguh berdiri di pihak rakyat, atau hanya sibuk mempertahankan wibawa kekuasaan. Penyelesaian kasus ini harus dilakukan dengan pendekatan transparan, akuntabel, dan melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan lembaga peradilan. Jika tidak, maka negara sedang membuka jalan bagi budaya impunitas, di mana pelanggaran HAM bisa berulang tanpa konsekuensi nyata.
Kesimpulannya, hilangnya tiga orang pascademonstrasi adalah alarm keras bagi kita semua. Negara tidak boleh sekadar berjanji, tetapi harus bergerak cepat, efektif, dan terbuka dalam mencari dan menemukan mereka. Data, survei, dan pengalaman sejarah jelas menunjukkan bahwa publik menuntut keadilan dan jaminan rasa aman.
Jika negara gagal menuntaskan ini, maka yang hilang bukan hanya tiga orang, melainkan juga martabat negara sebagai pelindung rakyatnya. Pada akhirnya, demokrasi hanya bisa tegak jika setiap warganya merasa aman untuk bersuara—tanpa takut hilang dalam gelapnya represi.
