Dalam satu dekade terakhir, dunia digital berkembang begitu cepat hingga sebagian orang merasa seakan hidupnya berpindah dari zaman batu ke dunia tanpa batas. Perubahan ini paling terasa bagi generasi yang lahir sebelum revolusi teknologi, yaitu generasi Baby Boomer. Mereka yang umumnya lahir antara tahun 1946 hingga 1964, atau dalam konteks Indonesia, generasi orang tua dan kakek-nenek kita yang tumbuh besar di masa surat menyurat, radio dan televisi tabung.
Dari Surat ke Smartphone
Bagi Baby Boomer, komunikasi pada masa muda mereka membutuhkan waktu, tenaga dan kesabaran. Surat yang dikirim ke luar kota bisa tiba berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Informasi disiarkan melalui koran atau radio dengan jadwal yang terbatas. Maka, ketika internet dan media sosial hadir lengkap dengan notifikasi instan dan berita yang berpacu setiap detik, mereka mengalami culture shock yang luar biasa.
Sosiolog Alvin Toffler menyebut fenomena ini sebagai “future shock”, yakni keadaan psikologis ketika manusia kewalahan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi yang terlalu cepat. Baby Boomer, yang terbiasa dengan ritme informasi lambat dan terkurasi, kini dihadapkan pada dunia yang setiap detiknya menumpahkan jutaan data baru tanpa henti.
Menurut data We Are Social dan Hootsuite (2024), pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 213 juta jiwa, dengan 191 juta di antaranya aktif di media sosial. Dari jumlah tersebut, 30% pengguna berusia di atas 45 tahun, kelompok umur yang mayoritas termasuk Baby Boomer dan generasi X. Angka ini menunjukkan bahwa meski mereka bukan “digital native”, generasi ini sudah sangat aktif dalam dunia digital.
Kemudahan yang Berbalik Jadi Bahaya
Masalahnya, kemudahan akses informasi tidak selalu sebanding dengan kemampuan menyaring kebenarannya. Banyak Baby Boomer yang tidak tumbuh dalam budaya cross-checking informasi, sehingga mereka lebih mudah mempercayai berita dari sumber yang tampak “meyakinkan”, meskipun belum tentu benar.
Contohnya sederhana; saat menerima pesan di grup WhatsApp keluarga tentang “minuman herbal penyembuh segala penyakit” atau “video tokoh publik melakukan hal tercela”, mereka cenderung langsung meneruskan pesan itu tanpa membaca utuh, tanpa memverifikasi sumber, bahkan kadang tanpa berpikir logis.
Fenomena ini bukan sekadar anekdot. Sebuah survei Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, 2023) menunjukkan bahwa lebih dari 60% penyebaran hoaks di grup WhatsApp berasal dari pengguna berusia 45 tahun ke atas. Motivasinya bukan niat jahat, melainkan keyakinan bahwa mereka sedang “menginformasikan sesuatu yang penting”. Sayangnya, niat baik itu justru memperkuat ekosistem disinformasi di ruang digital.
“Literasi Digital” yang Tertinggal
Generasi Baby Boomer sejatinya memiliki kekayaan pengalaman hidup yang luar biasa. Mereka melewati masa krisis, pergantian rezim, hingga masa kebangkitan ekonomi. Namun, kekuatan itu tidak otomatis berbanding lurus dengan literasi digital.
Literasi digital berarti kemampuan memahami, mengevaluasi dan memanfaatkan informasi secara bijak di ruang digital yang mencakup cara mengenali sumber tepercaya, membaca konteks berita, memahami manipulasi visual, hingga menahan diri untuk tidak menjadi penyebar hoaks.
Sayangnya, bagi banyak Baby Boomer, dunia digital terasa seperti labirin: terlalu banyak pintu, terlalu sedikit petunjuk. Karena itu, mereka lebih sering mengandalkan intuisi lama yaitu “jika berita itu sesuai dengan keyakinannya, maka dianggap benar”.
Contohnya, seseorang yang sejak dulu tidak menyukai tokoh tertentu akan lebih mudah percaya pada berita negatif tentang tokoh tersebut. Fenomena ini disebut confirmation bias, yaitu kecenderungan mempercayai informasi yang memperkuat pandangan pribadi. Di sinilah akar persoalan mudahnya generasi Baby Boomer terprovokasi di media sosial.
Namun, menyalahkan Baby Boomer sepenuhnya tentu tidak adil. Mereka tidak tumbuh dengan tuntunan digital sebagaimana Gen Z yang sejak kecil akrab dengan gawai dan algoritma. Oleh karena itu, pendidikan literasi digital perlu diarahkan bukan hanya kepada anak muda, tetapi juga kepada kelompok usia lanjut.
Banyak lembaga kini mulai bergerak. Program seperti Siberkreasi Kominfo, Mafindo, dan beberapa komunitas literasi digital di berbagai daerah mulai memberi pelatihan sederhana kepada masyarakat usia 50 tahun ke atas: bagaimana mengecek berita, mengenali akun palsu, dan membedakan opini dengan fakta.
Perubahan memang tidak mudah. Tapi ketika kesadaran mulai tumbuh, pelan-pelan mereka bisa menjadi pengguna media sosial yang lebih bijak. Sebab, pada dasarnya, generasi Baby Boomer memiliki semangat belajar yang tinggi, hanya perlu pendekatan yang tepat dan sabar.
Generasi Tua Bukan Musuh, Tapi Cermin
Lucunya, kadang kita yang muda justru menertawakan perilaku mereka di media sosial: mereka sering membagikan video editan, mengomentari hal-hal remeh atau menulis status penuh emosi. Bahkan kita dengan bercanda mengatakan “Jangan sampai informasi ini masuk di grup WA keluarga”. Padahal, di balik semua itu, ada kegagapan menghadapi kecepatan dunia modern.
Mereka bukan tidak cerdas, tapi sedang berjuang menyesuaikan diri. Mereka bukan malas berpikir, tapi sedang kehilangan pijakan dalam dunia yang tiba-tiba begitu cepat berubah.
Dan bila kita jujur, bukankah kita pun kadang terjebak hal serupa? Gen Z dan milenial juga sering termakan clickbait, berita sensasional atau propaganda terselubung. Maka seharusnya, bukan ejekan yang kita berikan, melainkan pendampingan dan edukasi.
Sebab, jika dibiarkan, disinformasi akan terus menular dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bukan karena kebodohan, tapi karena ketidaksiapan menghadapi banjir informasi.
Generasi Baby Boomer adalah saksi hidup perjalanan bangsa dari analog menuju digital. Mereka bukan generasi yang kalah, melainkan generasi yang sedang mencari ritme baru di tengah arus data yang deras.
Kita, generasi muda ini tidak boleh hanya menjadi penonton atau pengkritik. Kita harus menjadi jembatan generasi. Membantu mereka memahami dunia baru ini, mengajarkan cara memfilter berita dan menanamkan sikap skeptis yang sehat terhadap informasi digital.
Karena pada akhirnya, persoalan literasi bukan hanya soal usia, tetapi soal kesiapan untuk berpikir kritis di era yang serba cepat ini. (*)
