Kesadaran yang Mencerahkan dan Menggembirakan Generasi Muda

Kesadaran yang Mencerahkan dan Menggembirakan Generasi Muda
*) Oleh : Muhammad Arief Rachman M., S.Tr.Kom
Guru SD Muhammadiyah 01 Tanggul, Jember
www.majelistabligh.id -

Sebagai generasi Z yang memasuki tahap dewasa awal, pastilah mengalami yang namanya kisah asmara dan penolakan cinta. Sudah 2 tahun lebih penulis mengikuti pengajian lintas ormas serta pengabdian di salah satu SD Muhammadiyah sebagai kesibukan melupakan sejenak sakitnya penolakan itu. Selama itu juga, penulis menemukan poin-poin penting, khususnya dalam bidang pendidikan dan ketauhidan.

Menyadari bahwa kita tidak sepenuhnya mengendalikan hati orang lain, menghormati dan mendukung keputusan orang lain selama tidak berbenturan dengan syariat, serta menghormati batasan-batasan yang dibuatnya adalah beberapa bentuk cinta sejati. Ini berbeda sekali dengan makna cinta menurut budaya populer negara-negara barat yang memaknai cinta sebagai kepemilikan dan pemenuhan kesenangan diri (nafsu ammarah), bukan pengendalian diri demi ridha Ilahi (nafsu mutmainnah).

Memaksa hati orang lain untuk mencintai kita, atau menjatuhkan harga diri orang lain demi memenuhi ego, nafsu, dan kesenangan diri; Keduanya bukanlah bentuk cinta sejati, melainkan tirani, apalagi dibalut tipu daya dan “playing victim“.

Oleh karena itu semua, siapapun yang bersama penulis nanti, penulis harap dia menjadi “partner” yang kolaboratif, bukan “budak” atau “merasa menjadi budak” bagi diri penulis.

Maka benarlah apa yang didoakan Mas Giring Nidji, “Sadarkan aku Tuhan dia bukan milikku.” Lha wong “dia” milik Tuhan bukan milik Mas Giring, alhamdulillah Mas Giring dan saya sudah sadar, kapan-kapan kopdar, hehe.

Kembali ke topik, kebutuhan manusia sebenarnya bukan menjadi kaya (kaya materi sehingga menjadi bangga diri misalnya), melainkan “sadar”. Sadar diri bahwa dirinya hanyalah hamba Ilahi, atau sadar bahwa dirinya tidak sesempurna itu.

Kesimpulan akhir yang penulis temukan, satu-satunya tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia “menyadari” statusnya adalah hamba Ilahi, bukan hamba manusia atau makhluk lain, sehingga dia menemukan makna “merdeka” yang sejati. Selanjutnya, dia bisa mencintai dirinya sendiri, dicintai Tuhan, dan membahagiakan orang lain dengan cara yang mencerahkan dan menggembirakan. (*)

Tinggalkan Balasan

Search