Kokohnya Argumen Para Rasul di Tengah Ancaman Pengusiran

Kokohnya Argumen Para Rasul di Tengah Ancaman Pengusiran
*) Oleh : Dr. Slamet Muliono Redjosari
Wakil Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Timur
www.majelistabligh.id -

Dalam berdakwah, para rasul menghadapi tantangan berat dari penolak kebenaran. Kesabaran utusan Allah dalam menyampaikan argumentasi pun teruji dan kokoh. Namun para penolak kebenaran seolah-olah tak mau tahu meski bukti-bukti kebenaran sudah disampaikan kepadanya.

Ketika tidak ada argumen untuk membantah kebenaran itu, maka para penolak kebenaran menebarkan ancaman. Ancaman pengusiran yang dialami Nabi Ibrahim oleh bapaknya ketika menolak ajakan bertauhid merupakan contoh hilangnya argumen. Demikian juga yang dialami oleh Nabi Syu’aib yang dihina dan direndahkan sebelum diancam akan dirajam ketika argument dakwahnya sulit terbantahkan.

Pengusiran Nabi Ibrahim

Para rasul dalam menyampaikan dakwah, mengalami tantangan dan bahaya yang tidak kecil. Mereka mengalami penistaan, ancaman dan bahkan pengusiran. Mereka menyampaikan dakwah dengan penuh hikmah beserta argumentasi yang kuat dan kokoh. Namun para penolak kebenaran terus mengelak dengan berbagai argumen tapi lemah. Ketika di puncak lemahnya argumentasi itu, muncul watak asli, yang mengancam keselamatan para rasul.

Nabi Ibrahim merupakan sosok rasul pemberani yang tegar dalam menyampaikan dakwah. Betapa tidak, perintah berdakwah dijalani tanpa ada rasa “ewuh pakewuh” atau segan. Beliau secara terbuka dan terang-terangan menyampaikan dakwah tauhid kepada keluarga terdekatnya. Sebelum menyampaikan kepada orang luar, Nabi Ibrahim memberi nasehat kepada ayahnya, Azar. Sebagai pembuat patung, Azar tidak mudah bagi Nabi Ibrahim untuk meyakinkan orang yang pernah membesarkannya.

Namun sebagai utusan, Nabi Ibrahim harus menyampaikannya, meskipun risikonya sangat besar dan membahayakan dirinya. Terbukti, ketika mendakwahi ayahnya untuk menyembah kepada Allah, Azar pun menolak. Ketika Nabi Ibrahim terus mendebat dan meyakinkan bahwa Allah pantas disembah, Azar pun kehilangan akal, dan tidak bisa berkutik yang menandingi argumentasi anaknya.

Ketika di puncak kesombonganya dan kehilangan argumentasi, maka ancaman pun keluar dari mulut ayah (Azar) kepada anaknya (Ibrahim). Ancaman itu berupa hukuman rajam dan pengusiran dan tidak ingin mendengar dakwah tauhid. Al-Qur’an mengabadikan hal itu sebagaimana firman-Nya :

قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنۡ ءَالِهَتِي يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُ ۖ لَئِن لَّمۡ تَنتَهِ لَأَرۡجُمَنَّكَ ۖ وَٱهۡجُرۡنِي مَلِيّٗا

Artinya:

Berkata bapaknya, “Bencikah kamu kepada tuhan-Tuhan-ku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. (QS. Maryam : 46)

Kecintaan pada berhala itu membuat Azar menolak ajakan kebenaran untuk bertauhid. Lemahnya keyakinan serta ketidak-masuk-akalan apa yang dipercayai itulah yang mengundang emosi ketika datang Nabi Ibrahim yang melemahkan kepercayaannya.

Nabi Syu’aib

Hal yang sama dialami oleh Nabi Syu’aib yang demikian sabar dalam menyampaikan dakwah. Masyarakatnya melakukan praktek pencurian timbangan ketika berdagang. Praktek mencuri timbangan telah menjadi tradisi yang kuat dan mengakar. Nabi Syu’aib datang untuk memberi nasehat dan peringatan serta bahaya berdagang secara curang. Hal ini berpotensi besar mendatangkan kerusakan di tengah masyarakat.

Oleh karena praktek mencuri timbangan sudah mengakar dan sulit dihentikan, maka Nabi Syu’aib memberi argumentasi yang kokoh. Karena praktek penyimpangan dalam perdagangan yang dianggap biasa, dan bisa jadi masyarakat pun menganggapnya sebagai hal yang sah-sah saja. Hal inilah yang sulit untuk diubah. Namun Nabi Syu’aib dengan sabar menjelaskan bahaya praktek berdagang yang bertentangan dengan akal sehat. Betapa tidak, orang yang membeli barang dengan harga yang disepakati, namun barang yang diterimanya berkurang, serta tidak sesuai kesepakatan.

Argumen Nabi Syu’aib yang masuk akal dan rasional itu, justru dipandang sebagai keanehan dan tidak lazim. Karena praktek mengurangi timbangan dianggap sebagai praktek biasa karena telah berlangsung lama. Ketika argumen Nabi Syu’aib itu tidak bisa dibantah, maka jalan yang ditempuh dengan melakukan ancaman.

Sebelum mengancam, mereka menghina dan merendahkan Nabi Syu’aib sebagai kelompok masyarakat yang lemah dan tidak memiliki kekuatan. Ancaman rajam itu dinarasikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

قَالُواْ يَٰشُعَيۡبُ مَا نَفۡقَهُ كَثِيرٗا مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَىٰكَ فِينَا ضَعِيفٗا ۖ وَلَوۡلَا رَهۡطُكَ لَرَجَمۡنَٰكَ ۖ وَمَآ أَنتَ عَلَيۡنَا بِعَزِيزٖ

Artinya:

Mereka berkata, “Hai Syuʻaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami“. (QS. Hūd : 91)

Ancaman untuk merajam itu tidak lain menunjukkan hilangnya akal sehat dan lemahnya keyakinan yang dianut. Namun kesombongan dan merasa benar serta tak mau tahu dengan apa yang disampaikan Nabi Syu’aib membuatnya menolak, kemudian menebar ancaman. Hal yang sama dialami oleh para nabi terdahulu ketika mengajak kaumnya untuk meniti jalan yang ditempuhnya, namun akhirnya menebar ancaman.

Kemampuan para rasul dalam mempertahankan agamanya, serta membantah dan meluruskan keyakinan kaumnya yang menyimpang, menunjukkan agama yang dibawa sangat  kokoh. Kemampuan berbantah itulah yang membuat musuh dakwah ini patah arang hingga mengeluarkan ancaman kepadanya.

Kokohnya argumen para rasul ini menunjukkan bahwa Islam benar-benar sebagai agama yang datang dari Allah. Sementara apa yang diyakini oleh para penentang kebenaran tidak lain hanyalah keyakinan yang didasarkan pada dugaan kosong dan sulit diterima oleh akal sehat dan hati nurani yang bersih. (*)

Surabaya, 24 Agustus 2025

 

Tinggalkan Balasan

Search